Jumat, 16 Mei 2014

Faktor-faktor yang mempengaruhi cara berbusana remaja dalam persembahyangan di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan

Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (dalam Singh, 2010:1) mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah telah mengalami kemajuan selama 200 tahun terakhir, tetapi tidak ada  kesucian yang melekat pada keduanya. Mungkin hal ini berkaitan dengan Kali Yuga. Peradaban ilmu pengetahuan ini telah menstimulasi perkembangan di dalam peradaban manusia, tetapi tidak di dalam diri manusia. Hilangnya nilai kemanusiaan akan berakhir pada kehancuran spiritualitas. Peter Burke dalam Suriawati (2012) menyatakan bahwa umumnya setiap orang atau masyarakat pasti akan mengalami suatu perubahan, baik masyarakat yang masih terbelakang maupung masyarakat modern. Perubahan pada hakekatnya merupakan fenomena yang manusiawi dan alami. Menurut Herbert Spencer menyatakan bahwa evolusi secara umum adalah serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan, kumulatif, terjadi dengan sendirinya, dan memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Setiap perubahan atau perkembangan, apapun bentuknya tidak terlepas dari adanya suatu pengaruh.
Dewasa ini globalisasi sangat mempengaruhi jaman. Segala aspek menjadi berubah akibat dari arus globalisasi. Termasuk etika dalam menggunakan busana adat Bali. Sejak dahulu hingga sekarang busana adat Bali selalu berubah sesuai perkembangan jaman. Dalam menggunakan busana adat Bali terutama untuk persembahyangan harus sesuai dengan tata cara yang berlaku. Namun dewasa ini para umat Hindu terutama para remaja dalam menggunakan busana adat sudah tidak sesuai dengan aturan. Hal ini mungkin terjadi karena pola pikir masyarakat. Mereka tidak mengerti akan makna dari busana adat Bali tersebut. Kemunculan model busana yang kreatif, dinamis, inovatif dan modern berimplikasi terhadap etika busana remaja dalam persembahyanga di Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tata cara berbusana remaja yakni faktor eksternal dan faktor internal.

4.3.1 Faktor Eksternal
Setiap perubahan, apapun bentuknya pasti tidak bisa lepas dari adanya perubahan. Tak terkecuali dengan terjadinya perubahan sosial dan individual yang dialami masyarakat Bali, khususnya umat Hindu, terutama dalam hal berpenampilan pada kesempatan melaksanakan upacara persembahyangan. Hal tersebut didorong oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal adalah unsur-unsur yang berasal dari luar lingkungan umat Hindu itu sendiri terutama dalam hal penampilan umat Hindu yang kini semakin berkiblat pada kalangan selebritis selaku trendsetter, pecandu dan penentu mode yang selalu bergaya hidup trendis atau modis, meskipun dari sudut tuntunan normatif dapat dikategorikan sebagai bentuk penampilan yang cenderung tidak etis. Dikatakan tidak etis karena terjadi perubahan umat Hindu, yang semula berpegang pada kaidah etis-filosofis (etika-tattwa), namun kemudian berkembang menjadi lebih menekankan pada penampilan estetis (keindahan) bahkan menjelma ke dalam bentuk-bentuk penampilan seperti halnya kalangan selebritis yang lebih menonjolkan unsur materialis-kapitalis-konsumeris. Adapun unsur-unsur  yang dapat dimasukkan sebagai faktor eksternal atas terjadinya perkembangan, tepatnya perubahan umat Hindu sehingga berpenampilan selebritis adalah sebagai berikut:

1.      Globalisasi
Globalisasi pada dasarnya merupakan suatu proses menjadi global, mendunia, menyatu atau saling terhubung antar negara, sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi dan teknologi transformasi yang mampu mengatasi kendala waktu dan ruang yang menyekat antara satu negara dan negara lainnya (Atmadja  2010: 19). Bersamaan dengan hal itu, arus manusia, citra, komoditas, uang, ide, dan informai pada skala global secara cepat berpindah dari satu negara ke negara lainnya. Globalisasi telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat Bali, khususnya umat Hindu yaitu terjadinya benturan kultur. Dalam konteks fenomena berpenampilan, Fenomenologi Husserl memandangnya sebagai sesuatu (objek) sebagaimana kita alami dan menghadirkan diri dalam kesadaran kita yang dapat dideskripsikan dari apa yang tertangkap oleh intuisi dan muncul melalui analisis. Bahwa umat Hindu melalui penampilan selebritisnya telah menunjukan adanya percampuran kultur Barat (modern) dan lokal (tradisi) yang tampak sekali bentuk-bentuknya ketika dalam kesempatan mengikuti atau melaksanakan upacara persembahyangan, performance umat Hindu cenderung bergaya fashionable (sadar mode).
Media tubuh umat dalam balutan fashionable yang sebenarnya lebih tepat dikenakan pada kesempatan non-religion (di luar kegiatan agama) akhirnya ditampilkan juga dalam kesempatan religion seperti halnya di Pura. Penampilan umat dengan membaurkan, tepatnya mencampur adukan gaya berbusana antara tradisi lokal dengan tradisi global (modern) yang trendis dan modis yang telah mengikuti trend mode atau gaya hidup (lifestyle) global.

2.      Konsumerisme
Konsumerisme adalah satu ciri modernitas, dimana seluruh aspek kehidupan sosial didominasi oleh aktivitas ekonomi, tujuan ekonomi, kriteria ekonomi dan prestasi ekonomi. Motivasi dasar yang mendorong perilaku masyarakat adalah hasrat untuk mengkonsumsi materi yang tersedia di pasar (Lull dalam Atmadja, 2010:89). Fenomena konsumerisme tak dapat dipungkiri telah merusak gaya hidup umat Hindu. Faktanya, sekarang ini, untuk sebuah kegiatan meyajna, khususnya dalam penyediaan upakara bebanten, seperti banten saiban atau canang, sodan, pejati sampai ke tingkatan banten utama, umat dengan mudah dan sepertinya sudah lumrah mendapatkannya dengan membeli banten “siap saji”. Semangat hidup beragama mulai diwarnai dengan gairah kapitalis dan konsumeris. Tanda-tandanya : paling tidak dapat diamati secara fisikal-material antara lain, dalam bentuk munculnya selebritis agama. Suatu bentuk penampilan yang dalam suatu kesempatan mengikuti upacara yajna seperti nangkil ke pura, umat hadir dengan penampilan yang bagaikan seorang artis selebritis. Tampil fashionable untuk semua  bentuk performance tersebut tentunya didapat dengan membeli dan pastinya dengan harga tidak murah (mahal). Akhirnya Pura sebagai tempat suci dengan sekejap berubah menjadi ajang peragaan busana panggung cat walk.

3.      Media Massa
Yang dimaksud dengan media disini adalah media massa yang merupakan alat atau saluran yang menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. Melalui media massa dengan segala bentuk tayangannya (berita, hiburan, dan iklan), hasrat atau keinginan manusia untuk memenuhi segala kebutuhan setidaknya terakomodasi, tinggal kemudian membeli, mengkonsumsi dan mengaktualisasikannya ke dalam bentuk tampilan, baik yang terkait dengan konteks ritual (yajna) maupun dalam wujud berpenampilan. Kondisi ini terjadi juga pada bentuk-bentuk penampilan umat ketika mengikuti atau melaksanakan upacara yajna seperti halnya persembahyangan di Pura. Pura adalah tempat suci tak terhindarkan pula dimanfaatkan sebagai ruang dan waktu untuk hasrat narsisme, menghadirkan diri dengan fashionable, trendis sebagaimana lazimnya tampilan publik figur semacam artis selebritis yang dijadikan sebagai model, atau idola publik.

4.1.5        Faktor Internal
Penampilan umat Hindu tatkala melakukan persembahyangan atau upacara keagamaan lainnya juga dipengaruhi oleh faktor internal. Faktor internal yang memengaruhi umat Hindu sehingga berpenampilan selebritis adalah sebagai berikut:


1.      Transformasi dan Transisi Budaya
Apapun dan dari mana pun penyebabnya, masyarakat Indonesia, termasuk Bali tentunya, tak luput juga dari transformasi budaya, yaitu proses perubahan budaya yang gerak lajunya dipercepat oleh arus globalisasi. Bagi masyarakat Bali dengan kebudayaannya yang adiluhung dan adiluhur, meskipun secara terbuka terkomunikasi dengan beragam kebudayaan dalam kerangka terkomunikasi dengan beragam kebudayaan dalam kerangka globalisasi, dan tidak lepas juga dari peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan, sebagaimana terurai di atas, orang Bali nampaknya masih tetap memiliki sikap budaya yang sangat aspiratif terhadap kebudayaannya. Akan tetapi di sisi lain, jika diperhatikan perkembangan masyarakat (Bali) dewasa ini, harus diakui, di balik peristiwa akulturasi, adopsi, imitasi terhadap unsur-unsur budaya luar yang masuk dan kemudian diterima sebagai bagian dari kebudayaan Bali, tampaknya tak terelakkan juga terjadinya pergeseran-pergeseran yang menyangkut persoalan: orientasi nilai, persepsi, pola dan sikap serta gaya hidup yang tidak lagi ajeg.
Terkait dengan kajian tentang fenomena penampilan selebritis umat Hindu dalam kesempatan mengikuti atau melaksanakan upacara persembahyangan di pura menunjukkan fakta bahwa memang telah terjadi penyimpangan etika, dimana umat Hindu tanpa memandang levelitas atau stratifikasi sosial, seakan berlomba memperagakan tampilan tubuhnya dengan balutan fashionable : trendis, modis dengan lebih menonjolkan gaya estetis (keindahan), memamerkan elemen-elemen materialis-kapitalis-konsumeris (benda/barang, nilai uang dan konsumtif) dengan glamour (kemewahan), bahkan diantaranya unsur-unsur erotis (sensualitas), meski harus mengesampingkan kaidah etis-filosofis (etika) yang sebenarnya menjadi substansi dari sradha dan bhakti umat.

2.      Pergeseran Orientasi Nilai dan Ciri Masyarakat Bali
Khusus berkaitan dengan transformasi kultural (budaya) dapat mengantarkan masyarakat itu sendiri berada pada situasi transisi yang pada gilirannya akan menggeser atau bahkan merubah pula orientasi nilai dan kehidupan.
Arus kehidupan manusia di zaman global ini, terasa sulit atau berat sekali untuk merekonstruksi orientasi hidup yang sudah terlanjur larut mengikuti arus zaman. Zaman yang secara evolutif berkembang membawa perubahan, tidak saja berjalan pelan tetapi benar-benar membawa kepastian bahwa orientasi nilai-nilai kehidupan umat Hindu kini telah masuk jauh ke dalam pola dan gaya hidup materialisme yang kemudian diperilakukan secara individualistik, dengan hanya mementingkan, memperjuangkan dan bermotif mendapatkan materi untuk kesenangan atau kepentingan diri sendiri (ahamkara), dalam rangka memenuhi hasrat hedonismenya. Orientasi hidup model ini, kata Synnott (1995 : 25) hanya akan melahirkan anggapan bahwa “kesenangan tubuh (materi) jauh lebih baik dari pada kesenangan jiwa dengan praktek hidup dalam kemewahan”.

3.      Tingkatan Bhakti
Sesungguhnya di hadapan Tuhan, setiap manusia, terutama umat beragama adalah sama keberadaannya sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya. Meskipun sama dalam kedudukan, tetapi ada satu hal yang bisa membedakannya, yaitu dari sisi Sradha dan Bhaktinya. Umat Hindu tidak mau ketinggalan dalam menampilkan dirinya melalui proses “mengkreasi diri” agar dapat tampil sebagaimana trend mode yang sedang berkembang dan digandrungi masyarakat kebanyakan yang fashionable (sadar mode). Sehingga, umat Hindu dalam kesempatan persembahyangan sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi, tidak saja menampilkan dirinya melalui media “haturan bebanten” yang kebanyakan sudah berlabel “impor”, tetapi juga mengkonstruksi tubuhnya sebagai ekspresi melalui tampilan yang semiotik, mulai dari pemakaian busana yang trendis dan modis, ditambah polesan tata rias (wajah, rambut), aksesoris dan kelengkapan properties atau barang modern lainnya sebagai simbol komunikasi simbolik untuk sebuah makna dalam pencitraan dan pengakuan atas status dan identitas diri secara sosial-ekonomi sebagai orang berpunya (the have).

Selain itu, dengan bhakti umat yang dilandasi atau didorong oleh keinginan (kama) yaitu hanya untuk suatu kepentingan yang hanya bersifat fisikal-material, seperti misalnya bekerja atau mempersembahkan sesuatu dengan penuh pengharapan atau permohonan. Termasuk juga dalam penampilan selebritis umat yang bermuatan indrawi; seperti ingin mendapat perhatian, pujian, sanjungan, kesenangan atau kebanggaan diri, demi sebuah pencitraan (image), yang kesemua itu sesungguhnya berasal dan masih tergolong bhakti yang bersifat rajasik atau lebih buruk lagi masuk kategori tamasik. Padahal konsep ajaran dalam merealisasi sradha melalui bhakti, umat hendaknya dapat melaksanakannya dengan hati yang tulus, jiwa yang ikhlas dan tanpa pamrih. 

1 komentar:

  1. Emperor Casino: Play with 100% Bonus up to €500
    Emperor Casino is deccasino one of the 메리트 카지노 고객센터 newest online casinos. Play with 100% Welcome Bonus up to €500 제왕카지노 for new and existing players.

    BalasHapus