Jumat, 16 Mei 2014

info sehat



MELIA BIYANG adalah product anti Penuaan dini yang berstandard GMP(*sudah diakui dunia) yg berasal dari Susu awal sapi (colostrum) berfungsi untuk :
1. Menghaluskan wajah
2. Menghilangkan jerawat dan bekas jerawat
3. Untuk muka yg kusam 
4. Untuk muka yg banyak minyak
5. Menghilangkan kriput
6. Mengecilkan pipi yang tembem
7. Mengencangkan PAYUDARA
8. Mengeluarkan kolesterol secara instan(*onTheSpot)
9. Mengatasi nyeri2 sendi, sakit leher, pegel2 dan sebagainya
10. Memperbesar dn memperpanjang penis
11. Mengatasi keputihan
12. Berhubungan suami istri jadi tahan lama
13. Menghilangkan komedo-komedo

** PROPOLIS**
Efek Propolis pada Manusia:
• Anti Infeksi, Radang,
Alergi & Kanker
• Memperkuat Daya Tahan Tubuh
• Mempercepat Regenerasi Sel
• Nutrisi yang Bergizi Tinggi

Manfaat PROPOLIS untuk Penyakit: 
• Batuk, Asma, Bronchitis,
Paru², Sinusitis, Flu, Demam,
Sakit Kepala
• Luka benda Tajam & Luka Bakar
• Infeksi Kewanitaan
• Herpes, Penyakit Kulit serta
penyakit Jamur
• Jerawat, Bisul
• Infeksi Telinga & Gigi
• Wasir, Ambeien
• Kanker, Katarak, Tumor,
Gangguan Jantung, Ginjal,
Hati & Diabetes
• Darah Tinggi & Rendah
• Hepatitis/ Liver
• Stress, Parkinson
• Gangguan Pencernaan, Maag

Lebih baik mencegah dari pada mengobati... Sehat itu mahal!!

Info dan Pemesanan :
Vika Chu
085738124153
082236171551

Sudah banyak yang memesan produk ini, mencoba dan membuktikan KHASIAT dari MELIA BIYANG dengan reaksi cepat tanpa efek samping karena 100% produk ini alami. Tampilah cantik dan tampan saat bertemu pacar atau suami,,


add PIN 2a6e300d
CP 08578124153

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan etika berbusana remaja dalam persembahyangan di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan

Menurut sastra, pikiran yang akan mengantarkan sembah bhakti kita kepada Hyang Widhi. Artinya: Jika dalam persembahyangan pikiran terfokus pada Hyang Widhi, maka sembah bhakti kita akan sampai pada-Nya. Dalam kitab Bhagavadgita, bab IV soka 11 disebutkan bahwa:
Ye yathā māṁ prapadyante  tāṁs tathaiva bhajāmy aham
Mama vartmānuvartante manuṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ
Artinya :
Sejauh mana semua orang menyerahkan diri kepada-Ku, Aku menganugrahi mereka ssuai dengan penyerahan dirinya itu. Semua orang menempuh jalan-Ku dalam segala hal, wahai para putera pṛthā
(Tim Penyusun, 2006:230)

Bersembahyang merupakan suatu bentuk penyerahan diri kehadapan Tuhan. Penyerahan diri ini meliputi seluruh aspek tak terkecuali dalam hal berpakaian. Berpakaian dikaitkan dengan etika dan tata krama. Etika itulah yang kemudian dicarikan rujukan dalam ajaran agama yang disesuaikan dengan budaya masing-masing. Busana persembahyangan dianggap sebagai busana spesial.   Untuk itu agar tidak terus-menerus keliru, perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat secara umum tentang tatwa dalam berbusana adat Bali. Maka dari itu etika berbusana perlu ditingkatkan agar tidak semakin kebablasan dan agar Bali tetap mataksu. Dengan metode Etnometodologi yang mengacu pada kegiatan ilmiah yang menanalisis metode-metode atau prosedur-prosedur yang digunakan manusia untuk menuntun mereka dalam berbagai kehidupan kesehariannya, maka upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan etika berbusana remaja dalam persembahyangan di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan adalah sebagai berikut :
4.4.1 Dari Pemerintah
Pemerintah dalam hal ini yaitu lembaga tertinggi Hindu yang dikenal dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). PHDI merupakan lembaga yang berperan penting sebagai penjaga tradisi keagamaan. PHDI sebenarnya sudah mengeluarkan aturan tentang busana adat Bali khusunya yang dibahas disini adalah busana persembahyangan, namu hal itu belum diketahui oleh seluruh masyarakat Hindu khususnya di Bali. Walaupun PHDI sudah berperan optimal, namun banyak kendala yang dihadapi antara lain bersumberkan pada pantulan diferensiasi sosial yang terdapat dalam masyarakat Bali (Atmadja, 2010:53).  Untuk itu PHDI diharapkan lebih gencar melaksanakan sosialisasi mengenai kebijakan berbusana dalam persembahyangan. Sebagaimana yang telah diputuskan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV. Namu banyak warga yang tidak mengindahkan dan bahkan tidak tau menau tentang aturan berbusana pada saat persembahyangan tersebut. Untuk itulah perlu adanya sosialisasi baik melalui media maupun terjun secara langsung kelapangan. Ada beberapa metode sebagai media untuk mensosialisasikan tata cara berbusana sembahyang yang benar menurut etika Hindu yaitu diantaranya: 1) Dharma Wacana, 2) Penertiban, 3) Lomba Busana Adat Bali

1.                  Dharma Wacanan
Dharma Wacana terdiri dari dua kata yaitu dharma dan wacana.  Dharma artinya : 1) kebenaran, 2) kepatutan, 3) hukum, dan 4) kewajiban. Wacana artinya ucapan; 1) perkataan; 2) tutur; atau 3) keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan; atau 4) satuan bahasa terlengkap. Dharma Wacana adalah metode penerangan Agama Hindu yang disampaikan pada setiap kesempatan Umat Hindu yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan penerangan semacam ini dimasa lalu disebut Upanisada. Dharma Wacana bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan untuk penghayatan dan pengamalan kedalam rohani umat serta mutu bhaktinya kepada Agama, masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka peningkatan dharma agama dan dharma negara. Dharma Wacana sangat baik apabila disampaikan melalui ungkapan bahasa yang mudah dimengerti, dihayati dan diresapkan oleh hadirin. mampu memukau dan dihindari penggunaan istilah-istilah asing, kecuali belum atau tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahasa yang dipergunkan dalam Dharma Wacana disamping bahasa Indonesia dapat juga dipakai bahasa daerah setempat.
Dharma Wacana dianggap sebagai metode yang ampuh untuk menyiarkan atau memberi informasi kepada masyarakat prihal etika busana dalam persembahyangan. Misalnya saja pada saat odalan di suatu pura. Pada sore harinya diadakan acara Dharma Wacana dan warga desa diharuskan untuk hadir tak terkecuali para remaja. Hal ini akan efektif untuk menyadarkan masyarakat khususnya para generasi muda agar kepura tujuannya adalah sembahyang menyerahkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan bukan sebagai ajang untuk memamerkan keindahan busana yang sedang ia kenakan.


2.                Penertiban
Penertiban berasal dari kata tertib yang berarti aturan, perturan yang baik. Penertiban berarti perbuatan, hal menertibkan, aturan dalm masyarakat, atau pergaulan (Tim Penyusun, 2007:872). Seperti misalnya pada saat mengendarai kendaraan bermotor. Sewaktu-waktu sering kali diadakan penertiban oleh polisi mengenai kelengkapan berkendara. Hal ini efektif mengurangi pelanggaran lalu lintas. Contoh lain, penertiban Pedagang Kaki Lima di Monumen Naional, Jakarta hal ini efektif juga untuk memperbaiki tatanan tempat wisata. Di Hindu juga diperlukan adanya hal semacam ini, dimana pada saat ada persembahyangan, ada beberapa petugas yang berjaga di depan pura, merazia umat yang berpakaian kurang beretika dan jika ditemukan, maka yang bersangkutan tidak diperkenankan memasuki areal pura dan disuruh pulang dan berganti pakaian. Hal ini efektif dilakukan untuk menimbulkan efek jera pada masyarakat khususnya pada remaja. Untuk apa kita ke pura dengan menggunakan pakaian yang serba fashionable kalau itu semua hanyalah bersifat duniawi. Pada cerita ketika Sita menawarkan kalung mutiaranya kepada Hanoman sebagai ungkapan terima kasihnya, Hanoman menggigit mutiara tersebut dan membuangnya ke laut karena tidak menggemakan nama Rama. Ketika ditanya oleh  Sita kenapa Ia bertingkah seperti itu, Hanoman menjawab, “Engkau masih melihat nilai dari permata itu, sedangkan Aku hanya mendengarkan suara suci dari nama tuan-Ku, semua perhiasan yang tidak menggemakan nama Tuhan sama saja bagaikan batu biasa bagiku. Setiap Rambut yang ada di tibuhku ditutupi oleh nama dari Rama. Sifat ketuhanan mengisi setiap sel dan rambut dari Bharatiyas. Sangat sia-sia kamu tiak berpegangan pada nilai-nilai suci ini.” (Singh, 2010:25).
Dalam agama Hindu manusia bisa hidup karena di dalam tubuhnya terdapat atman. Atman adalah percikan terkecil dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Kalau kita melihat pernyataan tadi, seharusnya manusia sadar bahwa tubuhnya adalah suci dan patut dijaga kesuciannya yang salah satunya bisa dengan cara menggunakan pakaian yang bersih dan sopan. Lebih lagi pada saat persembahyangan. Secara kasar kita bersembahyang adalah untuk menuju tuhan. Kita ke pura untuk bertemu dengan Tuhan. Apakah untuk bertemu Tuhan diperlukan penampilan yang fashionable? Penertiban akan membuat manusia untuk memperhatikan etika berbusana sebelum mereka berangkat ke pura.


4.4.2 Dari Umat Hindu Sendiri
Agama Hindu adalah agama yang fleksibel yang mudah menyesuaikan dengan dimana agama tersebut ada. Hal ini berarti dimanapun Agama Hindu itu berkembang, akan berbaur dengan budaya setempat baik dari segi mantra, sarana persembahyangan, busana adat dan lain-lain. Dalam melaksanakan persembahyangan ke Pura memerlukan persyaratan yang mendasar yaitu Asuci Laksana.  Dalam kitab Manawadharmasastra, V.109 menyebutkan yaitu:
“Adbhir gatrani suddhyanti
Manah satyena suddhyanti,
Vidyatapobhyam bhutama
Buddhir janena suddhyanti”



Terjemahannya :

            Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa brata kecerdasan dengan pengetahuan yang benar (Pudja dan Sudharta, 2004: 250)

Berdasarkan kutipan sloka diatas, yang disebut dengan Asuci Laksana tidak hanya menyangkut pembersihan badan, akan tetapi menyangkut juga tentang penyucian pikiran. Selain badan yang harus bersih, penampilan atau balutan busana yang dikenakan juga harus bersih pada saat melaksanakan persembahyangan ke Pura, sehingga keheningan suasana sembahyang dapat tetap terjaga. Menjaga penampilan cantik, rapi dan bersih pada saat melakukan persembahyangan bertujuan agar perasaan nyaman, sehingga persembahyangan pun bisa dilakukan dengan baik. Untuk bisa tampil cantik, tentu tidak harus menggunakan pakaian kebaya, make-up dan aksesori serba mahal. Semua harus disesuaikan dengan keperluan saja, jangan sampai berlebih yang bisa menimbulkan kesan pamer. Mulai dari pakaian atau kebaya, pilih yang tepat untuk acara persembahyangan, make-up dan rambut sewajarnya, demikian juga aksesori. Semua umat harus bisa menyesuaikan dandanan ke pura. Sudah seharusnya kita sebagai umat Hindu menyadari pentingnya beretika terutama dalam hal berbusana dalam persembahyangan.
1. Teladanisasi
Teladanisasi berasal dari kata teladan yang berarti menjadi yang patut dicontoh. Sudah seharusnya yang mengetahui menjadi teladan bagi yang tidak tahu.  Menjadi idola ataupun mengidolakan seseorang merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini seolah telah menjadi hukuman bagi semua orang, baik itu idola artis, pahlawan kemerdekaan, tokoh masyarakat, pemuka agama, dewa-dewa, dan lain sebagainya. Orang yang diiolakan merasa dirinya sebagai panutan dan diikuti oleh pndukungnya, sedangkan orang yang mengidolakan meminta agar idolanya selalu tampil dan menjadi sempurna.
Busana adat Bali dalam proses sejarahnya sudah menunjukkan kekhasan fungsinya bagi umat Hindu suku Bali. Kekhasan fungsi itu, dalam hal fungsi religius dan fungsi adat, busana adat Bali sudah tercitra sebagai busana dalam rangka kegiatan beragama dan kegiatan adat Bali. Kalau memakai busana adat Bali sudah muncul pengaruh psikologis yang religius Hindu dan adat Bali. Kesan religius inilah yang umumnya dirasakan oleh suku Bali yang beragama Hindu kalau memakai busana adat Bali. Karena itulah, orang Bali yang beragama Hcindu pada umumnya tidak mau sembarangan berbusana adat. Apalagi memakai busana sembahyang ke pura. Citra positif yang dimunculkan oleh busana adat Bali ini seyogianya dapat dijaga. Agar kelestarian seni dan budaya Bali tetap terjaga sampai kapanpun. Yang diutamakan dalam berbusana sembahyang itu adalah sopan, wajar dan tidak berlebihan. Hal itu tentunya paradigma agama Hindu yang bernuansa filosofis. Meskipun demikian tentu sangat ideal bagi umat Hindu yang suku Bali memelihara tradisinya yang nyata-nyata sangat mulia, seperti busana adat Bali tersebut. Cuma dalam memelihara citra religius dan kekhasan adat Bali ini tidak boleh hanyut oleh emosi Bali tersebut. Hal itu justru dapat menimbulkan citra yang terlalu bias.
Seperti penggunaan busana adat Bali dewasa ini yang tampaknya perlu dijaga jangan sampai busana adat Bali tercitra tidak lagi religius dan tidak mencintrakan kekhasan adat Bali. Dalam era reformasi ini penggunaan busana adat Bali ini sudah semakin meluas. Busana adat digunakan saat demo, ada juga digunakan untuk kegiatan politik praktis. Satgas parpol menggunakan busana adat pecalang. Ada juga umat berbusana adat Bali melakukan kerusuhan massa, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Perlu direnungkan dalam-dalam, apakah tidak sebaiknya busana adat Bali itu tetap kita jaga citranya sebagai busana untuk melakukan kegiatan keagamaan Hindu dan adat Bali.
Sebagai umat manusia kita memiliki banyak status. Ada saatnya kita berada dalam kegiatan adat, melakukan kegiatan keagamaan. Ada juga saat kita melakukan kegiatan yang bernuansa nasional bahkan internasional. Ini artinya, sebaiknya diberikan ciri khas masing-masing. Kapan kita tampil sebagai orang Bali, kapan sebagai orang Indonesia dan kapan tampil sebagai warga dunia. Yang juga sangat penting, kapan kita tampil sebagai umat Hindu suku Bali. Saat ada kegiatan adat Bali sudah seyogianya umat menampilkan ciri khas budaya Bali yang dapat dibedakan dengan ciri khas budaya suku lainnya. Salah satu ciri khas itu adalah busana adat Bali. Busana adat Bali ini oleh orang Bali juga dijadikan ciri khas melakukan kegiatan keagamaan Hindu.

2. Tingkatkan Sradha Bhakti Dengan  Kesadaran Dalam Berbusana
Modernisasi dan westernisasi yang menerpa masyarakat Bali tidak saja mengakibatkan perubahan kebudayaan fisik dan sistem sosial, tetapi juga pada sistem budaya, antara lain pada aspek spiritualitas (Atmadja, 2010:84). Bali dengan masyarakat dan budaya yang unik dipastikan bukanlah satu wilayah migrasi yang baru tumbuh. Keseharian masyarakat Bali dengan budaya yang senantiasa menampilkan warna budaya lokal menunjukkan bahwa perjalanan Bali telah melewati alur sejarah yang panjang. Berbagai temuan arkeologi di berbagai wilayah Bali membuktikan perjalanan panjang Pulau Bali berbarengan dengan wilayah dan negara lain. Wilayah lain mengenal umat Hindu di Bali dengan sikap religius yang sangat kental. Sebagaimana yang masyarakat luar ketahui, kenapa umat Hindu di Bali terutama para generasi muda supaya lebih meningkatkan Sradha Bhakti ke hadapan Tuhan.
            Bhakti (pengabdian) merupakan sebuah esensi untuk dapat merasakan kebahagiaan dari Atma. Pengabdian ada banyak caranya. Salah satu cara yang termudah adalah dengan cara memuja Beliau. Tujuan dari pergi ke tempat suci adalah untuk bersembahyang, menyerahkan diri ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.  Dalm Kitab Veda disebutkan:
Dayanidhe Bhavatkripayanena janopasanadikarmana
Dharmaarthaamamokshanam Sadyah Siddirbhavennah

Terjemahannya :
O’ Tuhan, samudra belas kasih, semoga kami segera mencapai Dharma, Kaama dan Moksa melalui Japa (pengulangan mantra dalam hati) dan Upaasana (pemujaan) dan lain-lain dengan anugerah-Mu (Mittal, 2010:247).


             Tumbuhkan cinta untuk Tuhan dengan cara memiliki keyakinan kepada Tuhan. Tidak ada satupun yang Tuhan tidak dapat lakukan. Keyakinan didasarkan pada pernyataan Sarvam Khalvidam Brahman (semua ini sesungguhnya adalah Brahman), Sarvam Vishnumayam Jagat (Tuhan menyebar di seluruh dunia) dan Isavasyamidam Sarvam (Tuhan senantiasa ada di semua makhluk), yang telah mengemukakan kebenaran abadi (Singh, 2010:139). Orang yang selalu sadar akan keberadaan dirinya, yang mengerti dan mampu mengamati proses kerja pikirannya, yang selalu berada diatas gerak pikirannya adalah orang yang tercerahi, orang yang tidak lagi terpengaruh atas kesenangan dan penderitaan yang dialaminya (Suwantana, 2011:27). 

Faktor-faktor yang mempengaruhi cara berbusana remaja dalam persembahyangan di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan

Bhagawan Sri Sathya Sai Baba (dalam Singh, 2010:1) mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi telah telah mengalami kemajuan selama 200 tahun terakhir, tetapi tidak ada  kesucian yang melekat pada keduanya. Mungkin hal ini berkaitan dengan Kali Yuga. Peradaban ilmu pengetahuan ini telah menstimulasi perkembangan di dalam peradaban manusia, tetapi tidak di dalam diri manusia. Hilangnya nilai kemanusiaan akan berakhir pada kehancuran spiritualitas. Peter Burke dalam Suriawati (2012) menyatakan bahwa umumnya setiap orang atau masyarakat pasti akan mengalami suatu perubahan, baik masyarakat yang masih terbelakang maupung masyarakat modern. Perubahan pada hakekatnya merupakan fenomena yang manusiawi dan alami. Menurut Herbert Spencer menyatakan bahwa evolusi secara umum adalah serentetan perubahan kecil secara pelan-pelan, kumulatif, terjadi dengan sendirinya, dan memerlukan waktu yang cukup lama. Sedangkan evolusi dalam masyarakat adalah serentetan perubahan yang terjadi karena usaha-usaha masyarakat tersebut untuk menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan, dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Setiap perubahan atau perkembangan, apapun bentuknya tidak terlepas dari adanya suatu pengaruh.
Dewasa ini globalisasi sangat mempengaruhi jaman. Segala aspek menjadi berubah akibat dari arus globalisasi. Termasuk etika dalam menggunakan busana adat Bali. Sejak dahulu hingga sekarang busana adat Bali selalu berubah sesuai perkembangan jaman. Dalam menggunakan busana adat Bali terutama untuk persembahyangan harus sesuai dengan tata cara yang berlaku. Namun dewasa ini para umat Hindu terutama para remaja dalam menggunakan busana adat sudah tidak sesuai dengan aturan. Hal ini mungkin terjadi karena pola pikir masyarakat. Mereka tidak mengerti akan makna dari busana adat Bali tersebut. Kemunculan model busana yang kreatif, dinamis, inovatif dan modern berimplikasi terhadap etika busana remaja dalam persembahyanga di Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tata cara berbusana remaja yakni faktor eksternal dan faktor internal.

4.3.1 Faktor Eksternal
Setiap perubahan, apapun bentuknya pasti tidak bisa lepas dari adanya perubahan. Tak terkecuali dengan terjadinya perubahan sosial dan individual yang dialami masyarakat Bali, khususnya umat Hindu, terutama dalam hal berpenampilan pada kesempatan melaksanakan upacara persembahyangan. Hal tersebut didorong oleh faktor eksternal maupun internal. Faktor eksternal adalah unsur-unsur yang berasal dari luar lingkungan umat Hindu itu sendiri terutama dalam hal penampilan umat Hindu yang kini semakin berkiblat pada kalangan selebritis selaku trendsetter, pecandu dan penentu mode yang selalu bergaya hidup trendis atau modis, meskipun dari sudut tuntunan normatif dapat dikategorikan sebagai bentuk penampilan yang cenderung tidak etis. Dikatakan tidak etis karena terjadi perubahan umat Hindu, yang semula berpegang pada kaidah etis-filosofis (etika-tattwa), namun kemudian berkembang menjadi lebih menekankan pada penampilan estetis (keindahan) bahkan menjelma ke dalam bentuk-bentuk penampilan seperti halnya kalangan selebritis yang lebih menonjolkan unsur materialis-kapitalis-konsumeris. Adapun unsur-unsur  yang dapat dimasukkan sebagai faktor eksternal atas terjadinya perkembangan, tepatnya perubahan umat Hindu sehingga berpenampilan selebritis adalah sebagai berikut:

1.      Globalisasi
Globalisasi pada dasarnya merupakan suatu proses menjadi global, mendunia, menyatu atau saling terhubung antar negara, sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi dan teknologi transformasi yang mampu mengatasi kendala waktu dan ruang yang menyekat antara satu negara dan negara lainnya (Atmadja  2010: 19). Bersamaan dengan hal itu, arus manusia, citra, komoditas, uang, ide, dan informai pada skala global secara cepat berpindah dari satu negara ke negara lainnya. Globalisasi telah membawa kemajuan besar dan perubahan-perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat Bali, khususnya umat Hindu yaitu terjadinya benturan kultur. Dalam konteks fenomena berpenampilan, Fenomenologi Husserl memandangnya sebagai sesuatu (objek) sebagaimana kita alami dan menghadirkan diri dalam kesadaran kita yang dapat dideskripsikan dari apa yang tertangkap oleh intuisi dan muncul melalui analisis. Bahwa umat Hindu melalui penampilan selebritisnya telah menunjukan adanya percampuran kultur Barat (modern) dan lokal (tradisi) yang tampak sekali bentuk-bentuknya ketika dalam kesempatan mengikuti atau melaksanakan upacara persembahyangan, performance umat Hindu cenderung bergaya fashionable (sadar mode).
Media tubuh umat dalam balutan fashionable yang sebenarnya lebih tepat dikenakan pada kesempatan non-religion (di luar kegiatan agama) akhirnya ditampilkan juga dalam kesempatan religion seperti halnya di Pura. Penampilan umat dengan membaurkan, tepatnya mencampur adukan gaya berbusana antara tradisi lokal dengan tradisi global (modern) yang trendis dan modis yang telah mengikuti trend mode atau gaya hidup (lifestyle) global.

2.      Konsumerisme
Konsumerisme adalah satu ciri modernitas, dimana seluruh aspek kehidupan sosial didominasi oleh aktivitas ekonomi, tujuan ekonomi, kriteria ekonomi dan prestasi ekonomi. Motivasi dasar yang mendorong perilaku masyarakat adalah hasrat untuk mengkonsumsi materi yang tersedia di pasar (Lull dalam Atmadja, 2010:89). Fenomena konsumerisme tak dapat dipungkiri telah merusak gaya hidup umat Hindu. Faktanya, sekarang ini, untuk sebuah kegiatan meyajna, khususnya dalam penyediaan upakara bebanten, seperti banten saiban atau canang, sodan, pejati sampai ke tingkatan banten utama, umat dengan mudah dan sepertinya sudah lumrah mendapatkannya dengan membeli banten “siap saji”. Semangat hidup beragama mulai diwarnai dengan gairah kapitalis dan konsumeris. Tanda-tandanya : paling tidak dapat diamati secara fisikal-material antara lain, dalam bentuk munculnya selebritis agama. Suatu bentuk penampilan yang dalam suatu kesempatan mengikuti upacara yajna seperti nangkil ke pura, umat hadir dengan penampilan yang bagaikan seorang artis selebritis. Tampil fashionable untuk semua  bentuk performance tersebut tentunya didapat dengan membeli dan pastinya dengan harga tidak murah (mahal). Akhirnya Pura sebagai tempat suci dengan sekejap berubah menjadi ajang peragaan busana panggung cat walk.

3.      Media Massa
Yang dimaksud dengan media disini adalah media massa yang merupakan alat atau saluran yang menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu. Melalui media massa dengan segala bentuk tayangannya (berita, hiburan, dan iklan), hasrat atau keinginan manusia untuk memenuhi segala kebutuhan setidaknya terakomodasi, tinggal kemudian membeli, mengkonsumsi dan mengaktualisasikannya ke dalam bentuk tampilan, baik yang terkait dengan konteks ritual (yajna) maupun dalam wujud berpenampilan. Kondisi ini terjadi juga pada bentuk-bentuk penampilan umat ketika mengikuti atau melaksanakan upacara yajna seperti halnya persembahyangan di Pura. Pura adalah tempat suci tak terhindarkan pula dimanfaatkan sebagai ruang dan waktu untuk hasrat narsisme, menghadirkan diri dengan fashionable, trendis sebagaimana lazimnya tampilan publik figur semacam artis selebritis yang dijadikan sebagai model, atau idola publik.

4.1.5        Faktor Internal
Penampilan umat Hindu tatkala melakukan persembahyangan atau upacara keagamaan lainnya juga dipengaruhi oleh faktor internal. Faktor internal yang memengaruhi umat Hindu sehingga berpenampilan selebritis adalah sebagai berikut:


1.      Transformasi dan Transisi Budaya
Apapun dan dari mana pun penyebabnya, masyarakat Indonesia, termasuk Bali tentunya, tak luput juga dari transformasi budaya, yaitu proses perubahan budaya yang gerak lajunya dipercepat oleh arus globalisasi. Bagi masyarakat Bali dengan kebudayaannya yang adiluhung dan adiluhur, meskipun secara terbuka terkomunikasi dengan beragam kebudayaan dalam kerangka terkomunikasi dengan beragam kebudayaan dalam kerangka globalisasi, dan tidak lepas juga dari peristiwa-peristiwa perubahan kebudayaan, sebagaimana terurai di atas, orang Bali nampaknya masih tetap memiliki sikap budaya yang sangat aspiratif terhadap kebudayaannya. Akan tetapi di sisi lain, jika diperhatikan perkembangan masyarakat (Bali) dewasa ini, harus diakui, di balik peristiwa akulturasi, adopsi, imitasi terhadap unsur-unsur budaya luar yang masuk dan kemudian diterima sebagai bagian dari kebudayaan Bali, tampaknya tak terelakkan juga terjadinya pergeseran-pergeseran yang menyangkut persoalan: orientasi nilai, persepsi, pola dan sikap serta gaya hidup yang tidak lagi ajeg.
Terkait dengan kajian tentang fenomena penampilan selebritis umat Hindu dalam kesempatan mengikuti atau melaksanakan upacara persembahyangan di pura menunjukkan fakta bahwa memang telah terjadi penyimpangan etika, dimana umat Hindu tanpa memandang levelitas atau stratifikasi sosial, seakan berlomba memperagakan tampilan tubuhnya dengan balutan fashionable : trendis, modis dengan lebih menonjolkan gaya estetis (keindahan), memamerkan elemen-elemen materialis-kapitalis-konsumeris (benda/barang, nilai uang dan konsumtif) dengan glamour (kemewahan), bahkan diantaranya unsur-unsur erotis (sensualitas), meski harus mengesampingkan kaidah etis-filosofis (etika) yang sebenarnya menjadi substansi dari sradha dan bhakti umat.

2.      Pergeseran Orientasi Nilai dan Ciri Masyarakat Bali
Khusus berkaitan dengan transformasi kultural (budaya) dapat mengantarkan masyarakat itu sendiri berada pada situasi transisi yang pada gilirannya akan menggeser atau bahkan merubah pula orientasi nilai dan kehidupan.
Arus kehidupan manusia di zaman global ini, terasa sulit atau berat sekali untuk merekonstruksi orientasi hidup yang sudah terlanjur larut mengikuti arus zaman. Zaman yang secara evolutif berkembang membawa perubahan, tidak saja berjalan pelan tetapi benar-benar membawa kepastian bahwa orientasi nilai-nilai kehidupan umat Hindu kini telah masuk jauh ke dalam pola dan gaya hidup materialisme yang kemudian diperilakukan secara individualistik, dengan hanya mementingkan, memperjuangkan dan bermotif mendapatkan materi untuk kesenangan atau kepentingan diri sendiri (ahamkara), dalam rangka memenuhi hasrat hedonismenya. Orientasi hidup model ini, kata Synnott (1995 : 25) hanya akan melahirkan anggapan bahwa “kesenangan tubuh (materi) jauh lebih baik dari pada kesenangan jiwa dengan praktek hidup dalam kemewahan”.

3.      Tingkatan Bhakti
Sesungguhnya di hadapan Tuhan, setiap manusia, terutama umat beragama adalah sama keberadaannya sebagai sesama makhluk ciptaan-Nya. Meskipun sama dalam kedudukan, tetapi ada satu hal yang bisa membedakannya, yaitu dari sisi Sradha dan Bhaktinya. Umat Hindu tidak mau ketinggalan dalam menampilkan dirinya melalui proses “mengkreasi diri” agar dapat tampil sebagaimana trend mode yang sedang berkembang dan digandrungi masyarakat kebanyakan yang fashionable (sadar mode). Sehingga, umat Hindu dalam kesempatan persembahyangan sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sanghyang Widhi, tidak saja menampilkan dirinya melalui media “haturan bebanten” yang kebanyakan sudah berlabel “impor”, tetapi juga mengkonstruksi tubuhnya sebagai ekspresi melalui tampilan yang semiotik, mulai dari pemakaian busana yang trendis dan modis, ditambah polesan tata rias (wajah, rambut), aksesoris dan kelengkapan properties atau barang modern lainnya sebagai simbol komunikasi simbolik untuk sebuah makna dalam pencitraan dan pengakuan atas status dan identitas diri secara sosial-ekonomi sebagai orang berpunya (the have).

Selain itu, dengan bhakti umat yang dilandasi atau didorong oleh keinginan (kama) yaitu hanya untuk suatu kepentingan yang hanya bersifat fisikal-material, seperti misalnya bekerja atau mempersembahkan sesuatu dengan penuh pengharapan atau permohonan. Termasuk juga dalam penampilan selebritis umat yang bermuatan indrawi; seperti ingin mendapat perhatian, pujian, sanjungan, kesenangan atau kebanggaan diri, demi sebuah pencitraan (image), yang kesemua itu sesungguhnya berasal dan masih tergolong bhakti yang bersifat rajasik atau lebih buruk lagi masuk kategori tamasik. Padahal konsep ajaran dalam merealisasi sradha melalui bhakti, umat hendaknya dapat melaksanakannya dengan hati yang tulus, jiwa yang ikhlas dan tanpa pamrih. 

Tata busana remaja dalam persembahyangan di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan

Tata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti aturan, peraturan, dan susunan; cara susunan, sistem (Tim Penyusun, 2007:846). Tata Busana sebagai salah satu aspek yang sangat esensial dalam kehidupan manusia dan dapat memberikan wahana prilaku manusia untuk dapat menunjukkan jati dirinya. Dari busana tercermin suatu identitas diri sebagai manusia individual, manusia dari suatu negara dan manusia yang memiliki pranata sosial yang lebih tinggi. Keanekaragaman dalam tata busana adat di Indonesia tetap merupakan satu kesatuan budaya yang dikokohkan oleh adanya kesatuan bahasadan agama. Tata busana adat Bali tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusianya karena dia berkembang sejalan dengan dinamika manusia dan kebudayaannya. Ini berarti perubahan aspek sosial budaya yang sangat cepat akan mempengaruhi pula norma-norma dan tata busana adatyang berlaku di masyarakat. Adanya proses globalisasi, informasi serta pesatnya perkembangan industri pariwisata, menyebabkan masyarakat Bali tidak lepas dari pengaruh-pengaruh kebudayaan luar. Pengaruh kebudayaan luar tersebut akan membawa perubahan-perubahan yang mendasar dalam berbagai kehidupan masyarakat Bali. Termasuk juga di dalam tata busana adat Bali. Industri pariwisata telah memberikan dampak terhadap kebudayaan Bali dalam katagori positif dan negatif. Secara positif, masyarakat Bali memperoleh manfaat ekonomi serta kebudayaan Bali dirangsang secara lebih progresif. Secara negatif unsur-unsur kebudayaan tertentu untuk konsumsi wisatawan terlibat ke produksi masa, komersialisasi dan orientasi materialisme. Dewasa ini perkembangan modernisasi dan globalisasi merupakan dua konsep yang ssudah tidak asing lagi dalam dunia ilmu pengetahuan. Konsep globalisasi menunjukan terjadinya pengetahuan dunia dan peningkatan kesadaran akan dunia. Dengan kata lain, meningkatnya koneksi global dan pemahaman mengenainya. Modernitas merupakan suatu yang endogen di dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat mempunyai sifat yang dinamis. Dalam hal itu, kreativitas juga inheren dalam modernitas. Kreativitas ada pada setiap orang dan perkembangannya sangat tergantung dari apakah masyarakat itu sendiri memberikan kesempatan untuk berkembang atau tidak.
            Terkait dengan etika berbusana masa kini sangat berpengaruh terhadap kreasi busana itu sendiri. Inovasi model busana pun terus berubah setiap waktu. Model busana terus berkembang sjalan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Kini busana yang ada semakin brkembang sesuai dengan perkembangan mode yang beraneka ragam, baik warna, model, bahan dan teknik pembuatannya. Kreasi baru juga banyak dihadirkan oleh para desainer dengan bentuk, corak, bahan dan motif yang unik.
            Remaja Hindu di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan dalam mengikuti persembahyangan bisa dengan harmonis mensinergikan tampilannya yang trendis dan modis dalam aktivitas keagamaan yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu. Dibalik fenomena penampilan masa kini Umat Hindu akan membawa implikasi berupa terjadinya pergeseran orientasi nilai yang semestinya menekankan pada nilai-nilai susila (etika) umat Hindu, tetapi yang terjadi dan berkembang justru lbih mengutamakan tampilan materi (kemasan) dan estetikanya saja. Paradigma utamanya adalah tubuh atau materi dan pikiran sebagai tumpuannya.
            Penampilan yang estetis masa kini, akan memicu munculnya stratifikasi (tingkatan), baik dari segi status, kelas atau level sosial ekonomi. Belakangan ini penampilan remaja Hindu di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan tidak lagi berpijak pada kaidah etis (etika) akan tetapi sudah bergerak ke arah penekanan pada segi keindahan (estetika) yang disertai dengan menonjolkan unsur-unsur kemewahan bahkan ada pula yang lebih menampakan segi-segi erotisme (sensualitas) yang tampak jelas teramati, baik dari balutan busana, tata rias, aksesoris, kelengkapan bawaan lainnya dan termasuk sikap atau prilaku yang ditunjukkan. Maka teori Eksistensi dianggap relevan digunakan untuk membahas tentang tata busana remaja dalam persembahyangan di Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.

4.2.1  Tata Pemakaian Kain (Kamben)
            Kamben merupakan jenis pakaian, berupa kain pembalut tubuh. Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena laki-laki merupakan pemegang dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan. Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan kita, yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh kita tunjukkan. Untuk menutup kejantanan itu maka kita tutup dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen. Selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi penghadang musuh dari luar. Saput melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal buruk.

Gambar 4.1
Tata Cara Pemakaian Kamben pada remaja putra
(Sumber : Dokumen Pribadi)

            Untuk remaja putri lipatan kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran dharma. Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi putri melangkah lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, dan mengendalikan emosi.
            Pemakaian kain atau kamben pada zaman yang sekarang ini jauh berbeda dengan pemakaian kain pada zaman yang terdahulu. Pemakaian kain yang seharusnya sampai menutupi bagian mata kaki pada remaja putri, namun pada zaman yang sekarang ini banyak kaum remaja di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan yang penulis jumpai pemakaian kainnya gantut macincingan (di atas lutut), sehingga pada saat berjalan, kakinya nampak jelas kelihatan.
            Tampaknya model ini merupakan bentuk revolusi dalam hal pemakaian busana dalam persembahyangan, khususnya dalam pemakaian kain atau kamben yang sangat jauh melenceng dari ajaran etika Hindu yang sebenarnya. Remaja Hindu dalam memakai busana untuk sembahyang khusunya dalam mengenakan kain atau kamben lebih berorientasi atau menonjolkn bentuk tubuh khusunya bentuk tubuh bagian bawah hingga pinggang serta tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan.


4.2.2 Tata Pemakaian Baju  Dan Modelnya
            Dalam kebanyakan budaya, perbedaan pakaian antara kedua jenis kelamin dianggap pantas untuk laki-laki dan perempuan. Perbedaan dalam gayawarna, dan kain. Busana adat pria dan wanita tentunya berbeda. Baju persembahyangan untuk pria biasanya dikenal dengan baju safari, sedangkan baju persembahyangan untuk wanita biasanya disebut dengan kebaya. Penggunaan baju (kwaca) pada putra dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat terus berubah-rubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita harus menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Berpakaian dikaitkan dengan tata krama. Model safari berkembang dan diterima dengan baik dalam masyarakat.perkembangan tersebut meliputi bahan, bentuk, maupun warna. Jika dahulu safari untuk persembahyangan berwarna putih polos, namun ada beberapa umat yang menggunakan baju berwarna selain putih. Selain safari ada juga baju koko. Dahulunya baju koko hanya dipakai umat muslim, namun sekarang baju koko juga dipakai oleh umat hindu. Coraknya beragam. Yang paling banyak digunakan adalah yang bergambar tokoh wayang. Bahkan uniknya terdapat baju koko yang di bagian belakang atasnya dipadupadankan dengan potongan kebaya brokat.
Begitu pula putri, menggunakan baju (kebaya) dengan syarat bersih, rapi, dan sopan. Baju kebaya sendiri adalah pakaian tradisional yang dikenakan oleh wanita Indonesia dan Malaysia yang dibuat dari kain kasa yang dikenakan dengan sarung, batik, atau pakaian tradisional yang lain seperti songket dengan motif warna-warni. Asal kata kebaya berasal dari kata arab abaya yang berarti pakaian. Dipercaya kebaya berasal dari Tiongkok ratusan tahun yang lalu. Lalu menyebar ke Malaka, Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Setelah akulturasi yang berlangsung ratusan tahun, pakaian itu diterima di budaya dan norma setempat (http://ms.wikipedia.org/wiki/Baju_kebaya, diakses Senin, 5 Mei 2014). Dewasa ini pemakaian baju atau kebaya yang sering dipergunakan pada saat sembahyang  ke Pura yaitu model kebaya transparan (tembus pandang). Kebaya yang transparan biasanya terbuat dari bahan brokat, di samping bahan lain seperti katun, satin, kain sari, atau model bordiran. Akan tetapi mode kebaya yang sedang digemari oleh para remaja putri di Desa Pakrama Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupatn Tabanan pada saat melakukan persembahyangan adalah mode kebaya dengan bahan brokat yang lebih tredis dan modis yang tetntunya sangat cocok ditampilkan sesuai dengan estetika berbusana masa kini. (Dewi, wawancara : 14 April 2014)
            Remaja Hindu di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan selain suka menggunakan model kebaya  transparan, variasi model jaritannya pun beraneka ragam, seperti model jaritan yang lebar di bagian leher dan pendek di bagian lengan. Secara norma atau etik kesopanan semestinya bagian leher tidak terlalu terbuka dan di bagian lengan menutupi siku agar terlihat lebih  sopan. Karena perkembangan dunia fashion yang begitu pesat sehingga hal tersebut juga berpengaruh terhadap model busana sembahyang bagi para remaja di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan terpengaruh oleh arus dunia fasion sehingga untuk busana persembahyangan pun tidak lagi mengindahkan norma etika yang berlaku tetapi lebih mengedepankan penampilan serta mengikuti trend berbusana.



4.2.3  Tata Pemakaian  Selendang
            Pada putra penggunaaan selendang kecil (umpal) bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal buruk. Selendang secara filosofisnya adalah sebagai simbol pengekangan tingkah laku. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Butha Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada putri menggunakan selendang/senteng dikiat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra pada saat melenceng dari ajaran dharma. Baik putra maupun putri posisi selendang berada pada pinggang.
            Namun pada zaman sekarang kebanyakan putra manggunakan selendang di pantat. Selain itu pada remaja putri biasanya menggunakan selendag dengan cara mengikat ujung selendang lalu dibiarkan menjuntai kebawah, pada posisi sesuka hati bisa di bagian tengah, samping kiri atau kanan, dan bisa juga di belakang. Belakangan ini juga pemakaian selendang yang lebar sedang digemari. Remaja putri biasanya melingkarkannya pada dada bagian bawah sampai ke pinggang. Serta biasanya pada pertemuan simpul selendang biasanya dilengkapi juga dengan “bros” yaitu semacam perhiasan yang bervariasi untuk mempercantik penampilan. (Ririn, wawancara 30 April 2014).


4.2.4 Tata Pemakaian Udeng
               Udeng secara umum dibagi tiga yaitu udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan), udeng dara kepak (dipakai oleh raja), udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku). Pada udeng jejateran menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata. Sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi lambang pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai simbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan Dharma. Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa Siwa, dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas kepala atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih meminta. Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada bebidakan tepai ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Sedangkan pada udeng beblatukan tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di blakan dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
               Namun setahun belakangan pemakaian udeng pada remaja putra mengalami suatu inovasi yang jelas sudah melenceng dari yang seharusnya. Bila seharusnya ujung simpul menghadap keatas sebagai simbol penghormatan kepada Sang Hyang Aji Akasa, kebanyakan pemuda di Desa Wongaya Gede memakai udeng dengan simpul menghadap ke samping atas dan sekarang yang sedang digemari adalah pemakaian bulu burung merak sebagai hiasan untuk memperindah penampilan (Adi Suryawaan, wawancara 23 April 2014).

4.1.5        Tata Rambut
Penataan rambut khususnya pada wanita dalam persembahyangan tidak dapat dilupakan begitu saja. Bagaimanapun juga menata rapi rambut sangat penting dilakukan demi menjaga kenyamanan dan kesucian pura. Karena dikatakan bahwa sehelai rambut jatuh di areal pura, maka pura itu akan leteh atau kotor. Umumnya pada zaman dahulu wanita mengikat rambutnya berbentuk sanggul atau di Bali disebut mepusungan. Leluhur kita di Bali bahkan menciptakan budaya mepusungan yang berbeda antara dahasari (gadis), wanita dewasa dan untuk sulinggih. Pengekangan pikiran ini bagian dari ajaran Trikaya Parisudha.  Pada putri rambut dihias dengan pepusungan. Secara umum ada tiga pusungan yaitu pusung gonjer untuk putri yang masih lajang/belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipih pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan cara rambut di lipat sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai mahkota dan sebagai stana Tri Murti. Yang kedua adalah pusung tagel adalah untuk putri yang sudah menikah. Dan yang ketiga adalah pusung podgala/pusung kekupu. Biasanya dipakai pleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambang dewa Tri Murti.
Namun pada zaman sekarang ini kebanyakan remaja putri di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan lebih suka menggerai rambutnya dengan tujuan agar lebih terlihat sensual. Pusung gonjer dianggap sudah kuno atau ketinggalan zaman (Dewi Lestari, Wawancara 30 April 2014).