Tata
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti aturan, peraturan, dan susunan;
cara susunan, sistem (Tim Penyusun, 2007:846). Tata Busana
sebagai salah satu aspek yang sangat esensial dalam kehidupan manusia dan dapat
memberikan wahana prilaku manusia untuk dapat menunjukkan jati dirinya. Dari
busana tercermin suatu identitas diri sebagai manusia individual, manusia dari
suatu negara dan manusia yang memiliki pranata sosial yang lebih tinggi. Keanekaragaman dalam tata busana
adat di Indonesia tetap merupakan satu kesatuan budaya yang dikokohkan oleh
adanya kesatuan bahasadan agama. Tata busana adat Bali tidak dapat dilepaskan
dari kehidupan manusianya karena dia berkembang sejalan dengan dinamika manusia
dan kebudayaannya. Ini berarti perubahan aspek sosial budaya yang sangat cepat
akan mempengaruhi pula norma-norma dan tata busana adatyang berlaku di
masyarakat. Adanya
proses globalisasi, informasi serta pesatnya perkembangan industri pariwisata, menyebabkan
masyarakat Bali tidak lepas dari pengaruh-pengaruh kebudayaan luar. Pengaruh kebudayaan
luar tersebut akan membawa perubahan-perubahan yang mendasar dalam berbagai kehidupan
masyarakat Bali. Termasuk juga di dalam tata busana adat Bali. Industri
pariwisata telah memberikan dampak terhadap kebudayaan Bali dalam katagori
positif dan negatif. Secara positif, masyarakat Bali memperoleh manfaat ekonomi
serta kebudayaan Bali dirangsang secara lebih progresif. Secara negatif
unsur-unsur kebudayaan tertentu untuk konsumsi wisatawan terlibat ke produksi masa, komersialisasi dan
orientasi materialisme. Dewasa ini perkembangan modernisasi dan globalisasi
merupakan dua konsep yang ssudah tidak asing lagi dalam dunia ilmu pengetahuan.
Konsep globalisasi menunjukan terjadinya pengetahuan dunia dan peningkatan
kesadaran akan dunia. Dengan kata lain, meningkatnya koneksi global dan
pemahaman mengenainya. Modernitas merupakan suatu yang endogen di dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat mempunyai
sifat yang dinamis. Dalam hal itu, kreativitas juga inheren dalam modernitas. Kreativitas ada pada setiap orang dan
perkembangannya sangat tergantung dari apakah masyarakat itu sendiri memberikan
kesempatan untuk berkembang atau tidak.
Terkait dengan etika berbusana masa
kini sangat berpengaruh terhadap kreasi busana itu sendiri. Inovasi model
busana pun terus berubah setiap waktu. Model busana terus berkembang sjalan
dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Kini busana yang ada
semakin brkembang sesuai dengan perkembangan mode yang beraneka ragam, baik
warna, model, bahan dan teknik pembuatannya. Kreasi baru juga banyak dihadirkan
oleh para desainer dengan bentuk, corak, bahan dan motif yang unik.
Remaja Hindu di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan
Penebel, Kabupaten Tabanan dalam mengikuti persembahyangan bisa dengan harmonis
mensinergikan tampilannya yang trendis
dan modis dalam aktivitas keagamaan
yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu. Dibalik fenomena penampilan masa kini
Umat Hindu akan membawa implikasi berupa terjadinya pergeseran orientasi nilai
yang semestinya menekankan pada nilai-nilai susila
(etika) umat Hindu, tetapi yang terjadi dan berkembang justru lbih
mengutamakan tampilan materi (kemasan) dan estetikanya saja. Paradigma utamanya
adalah tubuh atau materi dan pikiran sebagai tumpuannya.
Penampilan yang estetis masa kini,
akan memicu munculnya stratifikasi (tingkatan), baik dari segi status, kelas
atau level sosial ekonomi. Belakangan ini penampilan remaja Hindu di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan
Penebel, Kabupaten Tabanan tidak lagi berpijak pada kaidah etis (etika) akan tetapi sudah bergerak ke arah penekanan pada segi
keindahan (estetika) yang disertai dengan menonjolkan unsur-unsur kemewahan
bahkan ada pula yang lebih menampakan segi-segi erotisme (sensualitas) yang
tampak jelas teramati, baik dari balutan busana, tata rias, aksesoris, kelengkapan
bawaan lainnya dan termasuk sikap atau prilaku yang ditunjukkan. Maka teori
Eksistensi dianggap relevan digunakan untuk membahas tentang tata busana remaja
dalam persembahyangan di Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten
Tabanan.
4.2.1 Tata Pemakaian
Kain (Kamben)
Kamben merupakan jenis
pakaian, berupa kain pembalut tubuh. Dalam menggunakan busana adat Bali
diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan kain/kamen (wastra) putra melingkar
dari kiri ke kanan karena laki-laki merupakan pemegang dharma. Tinggi kamen
putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung
jawab dharma harus melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat
yang dipijak adalah dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan
ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang
kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan
symbol kejantanan. Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan
kejantanan kita, yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan
itu boleh kita tunjukkan. Untuk menutup kejantanan itu maka kita tutup dengan
saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen.
Selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi penghadang
musuh dari luar. Saput melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian
dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah
mengendalikan hal-hal buruk.
Gambar 4.1
Tata Cara Pemakaian Kamben
pada remaja putra
(Sumber : Dokumen Pribadi)
Untuk
remaja putri lipatan
kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan konsep sakti.
Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari
ajaran dharma. Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan
putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi putri melangkah lebih pendek.
Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk
menjaga rahim, dan mengendalikan emosi.
Pemakaian kain atau kamben pada zaman yang sekarang ini jauh
berbeda dengan pemakaian kain pada zaman yang terdahulu. Pemakaian kain yang
seharusnya sampai menutupi bagian mata kaki pada remaja putri, namun pada zaman
yang sekarang ini banyak kaum remaja di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan yang
penulis jumpai pemakaian kainnya gantut
macincingan (di atas lutut), sehingga pada saat berjalan, kakinya nampak
jelas kelihatan.
Tampaknya model ini merupakan bentuk
revolusi dalam hal pemakaian busana dalam persembahyangan, khususnya dalam
pemakaian kain atau kamben yang
sangat jauh melenceng dari ajaran etika Hindu yang sebenarnya. Remaja Hindu
dalam memakai busana untuk sembahyang khusunya dalam mengenakan kain atau kamben lebih berorientasi atau
menonjolkn bentuk tubuh khusunya bentuk tubuh bagian bawah hingga pinggang
serta tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan.
4.2.2 Tata Pemakaian Baju Dan Modelnya
Dalam kebanyakan budaya, perbedaan
pakaian antara kedua jenis kelamin dianggap pantas untuk laki-laki dan perempuan. Perbedaan dalam gaya, warna, dan kain. Busana adat
pria dan wanita tentunya berbeda. Baju persembahyangan untuk pria biasanya
dikenal dengan baju safari, sedangkan
baju persembahyangan untuk wanita biasanya disebut dengan kebaya. Penggunaan baju (kwaca) pada putra dengan syarat bersih, rapi dan
sopan. Baju pada busana adat terus berubah-rubah sesuai dengan perkembangan.
Pada saat ke pura kita harus menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut
diwujudkan dengan memperindah diri. Berpakaian dikaitkan dengan tata
krama. Model safari berkembang dan
diterima dengan baik dalam masyarakat.perkembangan tersebut meliputi bahan,
bentuk, maupun warna. Jika dahulu safari untuk
persembahyangan berwarna putih polos, namun ada beberapa umat yang menggunakan
baju berwarna selain putih. Selain safari
ada juga baju koko. Dahulunya baju koko hanya dipakai umat muslim, namun
sekarang baju koko juga dipakai oleh umat hindu. Coraknya beragam. Yang paling
banyak digunakan adalah yang bergambar tokoh wayang. Bahkan uniknya terdapat
baju koko yang di bagian belakang atasnya dipadupadankan dengan potongan kebaya brokat.
Begitu pula putri, menggunakan baju (kebaya) dengan syarat bersih, rapi, dan
sopan. Baju kebaya sendiri adalah pakaian
tradisional yang dikenakan oleh wanita Indonesia dan Malaysia yang dibuat dari
kain kasa yang dikenakan dengan sarung, batik, atau pakaian tradisional yang
lain seperti songket dengan motif warna-warni. Asal kata kebaya berasal dari
kata arab abaya yang berarti pakaian. Dipercaya kebaya berasal dari Tiongkok
ratusan tahun yang lalu. Lalu menyebar ke Malaka, Jawa, Bali, Sumatera, dan
Sulawesi. Setelah akulturasi yang berlangsung ratusan tahun, pakaian itu
diterima di budaya dan norma setempat
(http://ms.wikipedia.org/wiki/Baju_kebaya, diakses Senin, 5 Mei 2014). Dewasa ini pemakaian baju atau kebaya yang sering dipergunakan pada saat sembahyang ke Pura yaitu model kebaya transparan (tembus pandang). Kebaya yang transparan biasanya terbuat dari bahan brokat, di samping bahan lain seperti katun, satin, kain sari, atau model bordiran. Akan tetapi mode kebaya yang sedang digemari oleh para
remaja putri di Desa Pakrama Wongaya Gede,
Kecamatan Penebel, Kabupatn Tabanan pada saat melakukan persembahyangan adalah
mode kebaya dengan bahan brokat yang lebih tredis dan modis yang
tetntunya sangat cocok ditampilkan sesuai dengan estetika berbusana masa kini. (Dewi,
wawancara : 14 April 2014)
Remaja Hindu di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan
Penebel, Kabupaten Tabanan selain suka menggunakan model kebaya transparan, variasi
model jaritannya pun beraneka ragam, seperti model jaritan yang lebar di bagian
leher dan pendek di bagian lengan. Secara norma atau etik kesopanan semestinya
bagian leher tidak terlalu terbuka dan di bagian lengan menutupi siku agar terlihat
lebih sopan. Karena perkembangan dunia
fashion yang begitu pesat sehingga hal tersebut juga berpengaruh terhadap model
busana sembahyang bagi para remaja di Desa Pakraman
Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan terpengaruh oleh arus
dunia fasion sehingga untuk busana
persembahyangan pun tidak lagi mengindahkan norma etika yang berlaku tetapi
lebih mengedepankan penampilan serta mengikuti trend berbusana.
4.2.3 Tata Pemakaian Selendang
Pada putra penggunaaan selendang kecil (umpal) bermakna kita sudah mengendalikan
hal-hal buruk. Selendang secara filosofisnya adalah sebagai simbol
pengekangan tingkah laku. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Butha
Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di
sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada putri
menggunakan selendang/senteng dikiat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti
sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi
oleh baju, agar selalu siap membenahi putra pada saat melenceng dari ajaran
dharma. Baik putra
maupun putri posisi selendang berada pada pinggang.
Namun
pada zaman sekarang kebanyakan putra manggunakan selendang di pantat. Selain
itu pada remaja putri biasanya menggunakan selendag dengan cara mengikat ujung
selendang lalu dibiarkan menjuntai kebawah, pada posisi sesuka hati bisa di
bagian tengah, samping kiri atau kanan, dan bisa juga di belakang. Belakangan
ini juga pemakaian selendang yang lebar sedang digemari. Remaja putri biasanya
melingkarkannya pada dada bagian bawah sampai ke pinggang. Serta biasanya pada
pertemuan simpul selendang biasanya dilengkapi juga dengan “bros” yaitu semacam
perhiasan yang bervariasi untuk mempercantik penampilan. (Ririn, wawancara 30
April 2014).
4.2.4 Tata Pemakaian Udeng
Udeng secara umum dibagi tiga yaitu
udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan), udeng dara kepak (dipakai oleh
raja), udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku). Pada udeng jejateran
menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata. Sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga
sebagi lambang pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai simbol penghormatan pada Sang Hyang
Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih
tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan
Dharma. Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa Siwa,
dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas
kepala atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih
meminta. Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada bebidakan tepai ada
tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi
masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Sedangkan pada udeng beblatukan tidak
ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di blakan dengan diikat
kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan
pribadi.
Namun setahun belakangan
pemakaian udeng pada remaja putra
mengalami suatu inovasi yang jelas sudah melenceng dari yang seharusnya. Bila
seharusnya ujung simpul menghadap keatas sebagai simbol penghormatan kepada
Sang Hyang Aji Akasa, kebanyakan pemuda di Desa Wongaya Gede memakai udeng dengan simpul menghadap ke samping
atas dan sekarang yang sedang digemari adalah pemakaian bulu burung merak
sebagai hiasan untuk memperindah penampilan (Adi Suryawaan, wawancara 23 April
2014).
4.1.5
Tata Rambut
Penataan
rambut khususnya pada wanita dalam persembahyangan tidak dapat dilupakan begitu
saja. Bagaimanapun juga menata rapi rambut sangat penting dilakukan demi
menjaga kenyamanan dan kesucian pura. Karena dikatakan bahwa sehelai rambut
jatuh di areal pura, maka pura itu akan leteh
atau kotor. Umumnya pada zaman dahulu wanita mengikat rambutnya
berbentuk sanggul atau di Bali disebut mepusungan. Leluhur kita di Bali
bahkan menciptakan budaya mepusungan yang berbeda antara dahasari (gadis), wanita dewasa dan untuk
sulinggih. Pengekangan pikiran ini bagian dari ajaran Trikaya Parisudha. Pada putri rambut dihias dengan
pepusungan. Secara umum ada tiga pusungan yaitu pusung gonjer untuk putri yang
masih lajang/belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih
dan dipih pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan cara rambut di lipat
sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai symbol
keindahan sebagai mahkota dan sebagai stana Tri Murti. Yang kedua adalah pusung
tagel adalah untuk putri yang sudah menikah. Dan yang ketiga adalah pusung
podgala/pusung kekupu. Biasanya dipakai pleh peranda istri. Ada tiga bunga yang
di pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambang dewa Tri Murti.
Namun pada zaman sekarang ini
kebanyakan remaja putri di Desa Pakraman Wongaya
Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan lebih suka menggerai rambutnya
dengan tujuan agar lebih terlihat sensual. Pusung gonjer dianggap sudah kuno
atau ketinggalan zaman (Dewi Lestari, Wawancara 30 April 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar