Jumat, 16 Mei 2014

Tata busana remaja dalam persembahyangan di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan

Tata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti aturan, peraturan, dan susunan; cara susunan, sistem (Tim Penyusun, 2007:846). Tata Busana sebagai salah satu aspek yang sangat esensial dalam kehidupan manusia dan dapat memberikan wahana prilaku manusia untuk dapat menunjukkan jati dirinya. Dari busana tercermin suatu identitas diri sebagai manusia individual, manusia dari suatu negara dan manusia yang memiliki pranata sosial yang lebih tinggi. Keanekaragaman dalam tata busana adat di Indonesia tetap merupakan satu kesatuan budaya yang dikokohkan oleh adanya kesatuan bahasadan agama. Tata busana adat Bali tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusianya karena dia berkembang sejalan dengan dinamika manusia dan kebudayaannya. Ini berarti perubahan aspek sosial budaya yang sangat cepat akan mempengaruhi pula norma-norma dan tata busana adatyang berlaku di masyarakat. Adanya proses globalisasi, informasi serta pesatnya perkembangan industri pariwisata, menyebabkan masyarakat Bali tidak lepas dari pengaruh-pengaruh kebudayaan luar. Pengaruh kebudayaan luar tersebut akan membawa perubahan-perubahan yang mendasar dalam berbagai kehidupan masyarakat Bali. Termasuk juga di dalam tata busana adat Bali. Industri pariwisata telah memberikan dampak terhadap kebudayaan Bali dalam katagori positif dan negatif. Secara positif, masyarakat Bali memperoleh manfaat ekonomi serta kebudayaan Bali dirangsang secara lebih progresif. Secara negatif unsur-unsur kebudayaan tertentu untuk konsumsi wisatawan terlibat ke produksi masa, komersialisasi dan orientasi materialisme. Dewasa ini perkembangan modernisasi dan globalisasi merupakan dua konsep yang ssudah tidak asing lagi dalam dunia ilmu pengetahuan. Konsep globalisasi menunjukan terjadinya pengetahuan dunia dan peningkatan kesadaran akan dunia. Dengan kata lain, meningkatnya koneksi global dan pemahaman mengenainya. Modernitas merupakan suatu yang endogen di dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat mempunyai sifat yang dinamis. Dalam hal itu, kreativitas juga inheren dalam modernitas. Kreativitas ada pada setiap orang dan perkembangannya sangat tergantung dari apakah masyarakat itu sendiri memberikan kesempatan untuk berkembang atau tidak.
            Terkait dengan etika berbusana masa kini sangat berpengaruh terhadap kreasi busana itu sendiri. Inovasi model busana pun terus berubah setiap waktu. Model busana terus berkembang sjalan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi. Kini busana yang ada semakin brkembang sesuai dengan perkembangan mode yang beraneka ragam, baik warna, model, bahan dan teknik pembuatannya. Kreasi baru juga banyak dihadirkan oleh para desainer dengan bentuk, corak, bahan dan motif yang unik.
            Remaja Hindu di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan dalam mengikuti persembahyangan bisa dengan harmonis mensinergikan tampilannya yang trendis dan modis dalam aktivitas keagamaan yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu. Dibalik fenomena penampilan masa kini Umat Hindu akan membawa implikasi berupa terjadinya pergeseran orientasi nilai yang semestinya menekankan pada nilai-nilai susila (etika) umat Hindu, tetapi yang terjadi dan berkembang justru lbih mengutamakan tampilan materi (kemasan) dan estetikanya saja. Paradigma utamanya adalah tubuh atau materi dan pikiran sebagai tumpuannya.
            Penampilan yang estetis masa kini, akan memicu munculnya stratifikasi (tingkatan), baik dari segi status, kelas atau level sosial ekonomi. Belakangan ini penampilan remaja Hindu di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan tidak lagi berpijak pada kaidah etis (etika) akan tetapi sudah bergerak ke arah penekanan pada segi keindahan (estetika) yang disertai dengan menonjolkan unsur-unsur kemewahan bahkan ada pula yang lebih menampakan segi-segi erotisme (sensualitas) yang tampak jelas teramati, baik dari balutan busana, tata rias, aksesoris, kelengkapan bawaan lainnya dan termasuk sikap atau prilaku yang ditunjukkan. Maka teori Eksistensi dianggap relevan digunakan untuk membahas tentang tata busana remaja dalam persembahyangan di Desa Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.

4.2.1  Tata Pemakaian Kain (Kamben)
            Kamben merupakan jenis pakaian, berupa kain pembalut tubuh. Dalam menggunakan busana adat Bali diawali dengan menggunakan kamen. Lipatan kain/kamen (wastra) putra melingkar dari kiri ke kanan karena laki-laki merupakan pemegang dharma. Tinggi kamen putra kira-kira sejengkal dari telapak kaki karena putra sebagai penanggung jawab dharma harus melangkah dengan panjang. Tetapi harus tetap melihat tempat yang dipijak adalah dharma. Pada putra menggunakan kancut (lelancingan) dengan ujung yang lancip dan sebaiknya menyentuh tanah (menyapuh jagat), ujungnya yang kebawah sebagai symbol penghormatan terhadap Ibu Pertiwi. Kancut juga merupakan symbol kejantanan. Untuk persembahyangan, kita tidak boleh menunjukkan kejantanan kita, yang berarti pengendalian, tetapi pada saat ngayah kejantanan itu boleh kita tunjukkan. Untuk menutup kejantanan itu maka kita tutup dengan saputan (kampuh). Tinggi saputan kira-kira satu jengkal dari ujung kamen. Selain untuk menutupi kejantanan, saputan juga berfungsi sebagi penghadang musuh dari luar. Saput melingkar berlawanan arah jarum jam (prasawya). Kemudian dilanjutkan dengan menggunakan selendang kecil (umpal) yang bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal buruk.

Gambar 4.1
Tata Cara Pemakaian Kamben pada remaja putra
(Sumber : Dokumen Pribadi)

            Untuk remaja putri lipatan kain/kamen melingkar dari kanan ke kiri karena sesuai dengan konsep sakti. Putri sebagai sakti bertugas menjaga agar si laki-laki tidak melenceng dari ajaran dharma. Tinggi kamen putri kira-kira setelapak tangan karena pekerjaan putri sebagai sakti itu sangat banyak jadi putri melangkah lebih pendek. Setelah menggunakan kamen untuk putri memakai bulang yang berfungsi untuk menjaga rahim, dan mengendalikan emosi.
            Pemakaian kain atau kamben pada zaman yang sekarang ini jauh berbeda dengan pemakaian kain pada zaman yang terdahulu. Pemakaian kain yang seharusnya sampai menutupi bagian mata kaki pada remaja putri, namun pada zaman yang sekarang ini banyak kaum remaja di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan yang penulis jumpai pemakaian kainnya gantut macincingan (di atas lutut), sehingga pada saat berjalan, kakinya nampak jelas kelihatan.
            Tampaknya model ini merupakan bentuk revolusi dalam hal pemakaian busana dalam persembahyangan, khususnya dalam pemakaian kain atau kamben yang sangat jauh melenceng dari ajaran etika Hindu yang sebenarnya. Remaja Hindu dalam memakai busana untuk sembahyang khusunya dalam mengenakan kain atau kamben lebih berorientasi atau menonjolkn bentuk tubuh khusunya bentuk tubuh bagian bawah hingga pinggang serta tidak lagi menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan.


4.2.2 Tata Pemakaian Baju  Dan Modelnya
            Dalam kebanyakan budaya, perbedaan pakaian antara kedua jenis kelamin dianggap pantas untuk laki-laki dan perempuan. Perbedaan dalam gayawarna, dan kain. Busana adat pria dan wanita tentunya berbeda. Baju persembahyangan untuk pria biasanya dikenal dengan baju safari, sedangkan baju persembahyangan untuk wanita biasanya disebut dengan kebaya. Penggunaan baju (kwaca) pada putra dengan syarat bersih, rapi dan sopan. Baju pada busana adat terus berubah-rubah sesuai dengan perkembangan. Pada saat ke pura kita harus menunjukkan rasa syukur kita, rasa syukur tersebut diwujudkan dengan memperindah diri. Berpakaian dikaitkan dengan tata krama. Model safari berkembang dan diterima dengan baik dalam masyarakat.perkembangan tersebut meliputi bahan, bentuk, maupun warna. Jika dahulu safari untuk persembahyangan berwarna putih polos, namun ada beberapa umat yang menggunakan baju berwarna selain putih. Selain safari ada juga baju koko. Dahulunya baju koko hanya dipakai umat muslim, namun sekarang baju koko juga dipakai oleh umat hindu. Coraknya beragam. Yang paling banyak digunakan adalah yang bergambar tokoh wayang. Bahkan uniknya terdapat baju koko yang di bagian belakang atasnya dipadupadankan dengan potongan kebaya brokat.
Begitu pula putri, menggunakan baju (kebaya) dengan syarat bersih, rapi, dan sopan. Baju kebaya sendiri adalah pakaian tradisional yang dikenakan oleh wanita Indonesia dan Malaysia yang dibuat dari kain kasa yang dikenakan dengan sarung, batik, atau pakaian tradisional yang lain seperti songket dengan motif warna-warni. Asal kata kebaya berasal dari kata arab abaya yang berarti pakaian. Dipercaya kebaya berasal dari Tiongkok ratusan tahun yang lalu. Lalu menyebar ke Malaka, Jawa, Bali, Sumatera, dan Sulawesi. Setelah akulturasi yang berlangsung ratusan tahun, pakaian itu diterima di budaya dan norma setempat (http://ms.wikipedia.org/wiki/Baju_kebaya, diakses Senin, 5 Mei 2014). Dewasa ini pemakaian baju atau kebaya yang sering dipergunakan pada saat sembahyang  ke Pura yaitu model kebaya transparan (tembus pandang). Kebaya yang transparan biasanya terbuat dari bahan brokat, di samping bahan lain seperti katun, satin, kain sari, atau model bordiran. Akan tetapi mode kebaya yang sedang digemari oleh para remaja putri di Desa Pakrama Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupatn Tabanan pada saat melakukan persembahyangan adalah mode kebaya dengan bahan brokat yang lebih tredis dan modis yang tetntunya sangat cocok ditampilkan sesuai dengan estetika berbusana masa kini. (Dewi, wawancara : 14 April 2014)
            Remaja Hindu di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan selain suka menggunakan model kebaya  transparan, variasi model jaritannya pun beraneka ragam, seperti model jaritan yang lebar di bagian leher dan pendek di bagian lengan. Secara norma atau etik kesopanan semestinya bagian leher tidak terlalu terbuka dan di bagian lengan menutupi siku agar terlihat lebih  sopan. Karena perkembangan dunia fashion yang begitu pesat sehingga hal tersebut juga berpengaruh terhadap model busana sembahyang bagi para remaja di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan terpengaruh oleh arus dunia fasion sehingga untuk busana persembahyangan pun tidak lagi mengindahkan norma etika yang berlaku tetapi lebih mengedepankan penampilan serta mengikuti trend berbusana.



4.2.3  Tata Pemakaian  Selendang
            Pada putra penggunaaan selendang kecil (umpal) bermakna kita sudah mengendalikan hal-hal buruk. Selendang secara filosofisnya adalah sebagai simbol pengekangan tingkah laku. Pada saat inilah tubuh manusia sudah terbagi dua yaitu Butha Angga dan Manusa Angga. Penggunaan umpal diikat menggunakan simpul hidup di sebelah kanan sebagai symbol pengendalian emosi dan menyama. Pada putri menggunakan selendang/senteng dikiat menggunakan simpul hidup di kiri yang berarti sebagai sakti dan mebraya. Putri memakai selendang di luar, tidak tertutupi oleh baju, agar selalu siap membenahi putra pada saat melenceng dari ajaran dharma. Baik putra maupun putri posisi selendang berada pada pinggang.
            Namun pada zaman sekarang kebanyakan putra manggunakan selendang di pantat. Selain itu pada remaja putri biasanya menggunakan selendag dengan cara mengikat ujung selendang lalu dibiarkan menjuntai kebawah, pada posisi sesuka hati bisa di bagian tengah, samping kiri atau kanan, dan bisa juga di belakang. Belakangan ini juga pemakaian selendang yang lebar sedang digemari. Remaja putri biasanya melingkarkannya pada dada bagian bawah sampai ke pinggang. Serta biasanya pada pertemuan simpul selendang biasanya dilengkapi juga dengan “bros” yaitu semacam perhiasan yang bervariasi untuk mempercantik penampilan. (Ririn, wawancara 30 April 2014).


4.2.4 Tata Pemakaian Udeng
               Udeng secara umum dibagi tiga yaitu udeng jejateran (udeng untuk persembahyangan), udeng dara kepak (dipakai oleh raja), udeng beblatukan (dipakai oleh pemangku). Pada udeng jejateran menggunakan simpul hidup di depan, disela-sela mata. Sebagai lambang cundamani atau mata ketiga. Juga sebagi lambang pemusatan pikiran. Dengan ujung menghadap keatas sebagai simbol penghormatan pada Sang Hyang Aji Akasa. Udeng jejateran memiliki dua bebidakan yaitu sebelah kanan lebih tinggi, dan sbelah kiri lebih rendah yang berarti kita harus mengutamakan Dharma. Bebidakan yang dikiri symbol Dewa Brahma, yang kanan symbol Dewa Siwa, dan simpul hidup melambangkan Dewa Wisnu Pada udeng jejateran bagian atas kepala atau rambut tidak tertutupi yang berarti kita masih brahmacari dah masih meminta. Sedangkan pada udeng dara kepak, masih ada bebidakan tepai ada tambahan penutup kepala yang berarti symbol pemimpin yang selalu melindungi masyarakatnya dan pemusatan kecerdasan. Sedangkan pada udeng beblatukan tidak ada bebidakan, hanya ada penutup kepala dan simpulnya di blakan dengan diikat kebawah sebagai symbol lebih mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi.
               Namun setahun belakangan pemakaian udeng pada remaja putra mengalami suatu inovasi yang jelas sudah melenceng dari yang seharusnya. Bila seharusnya ujung simpul menghadap keatas sebagai simbol penghormatan kepada Sang Hyang Aji Akasa, kebanyakan pemuda di Desa Wongaya Gede memakai udeng dengan simpul menghadap ke samping atas dan sekarang yang sedang digemari adalah pemakaian bulu burung merak sebagai hiasan untuk memperindah penampilan (Adi Suryawaan, wawancara 23 April 2014).

4.1.5        Tata Rambut
Penataan rambut khususnya pada wanita dalam persembahyangan tidak dapat dilupakan begitu saja. Bagaimanapun juga menata rapi rambut sangat penting dilakukan demi menjaga kenyamanan dan kesucian pura. Karena dikatakan bahwa sehelai rambut jatuh di areal pura, maka pura itu akan leteh atau kotor. Umumnya pada zaman dahulu wanita mengikat rambutnya berbentuk sanggul atau di Bali disebut mepusungan. Leluhur kita di Bali bahkan menciptakan budaya mepusungan yang berbeda antara dahasari (gadis), wanita dewasa dan untuk sulinggih. Pengekangan pikiran ini bagian dari ajaran Trikaya Parisudha.  Pada putri rambut dihias dengan pepusungan. Secara umum ada tiga pusungan yaitu pusung gonjer untuk putri yang masih lajang/belum menikah sebagai lambang putri tersebut masih bebas memilih dan dipih pasangannya. Pusung gonjer dibuat dengan cara rambut di lipat sebagian dan sebagian lagi di gerai. Pusung gonjer juga sebagai symbol keindahan sebagai mahkota dan sebagai stana Tri Murti. Yang kedua adalah pusung tagel adalah untuk putri yang sudah menikah. Dan yang ketiga adalah pusung podgala/pusung kekupu. Biasanya dipakai pleh peranda istri. Ada tiga bunga yang di pakai yaitu cempaka putih, cempaka kuning, sandat sebagai lambang dewa Tri Murti.
Namun pada zaman sekarang ini kebanyakan remaja putri di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan lebih suka menggerai rambutnya dengan tujuan agar lebih terlihat sensual. Pusung gonjer dianggap sudah kuno atau ketinggalan zaman (Dewi Lestari, Wawancara 30 April 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar