Jumat, 16 Mei 2014

Upaya yang dilakukan untuk meningkatkan etika berbusana remaja dalam persembahyangan di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan

Menurut sastra, pikiran yang akan mengantarkan sembah bhakti kita kepada Hyang Widhi. Artinya: Jika dalam persembahyangan pikiran terfokus pada Hyang Widhi, maka sembah bhakti kita akan sampai pada-Nya. Dalam kitab Bhagavadgita, bab IV soka 11 disebutkan bahwa:
Ye yathā māṁ prapadyante  tāṁs tathaiva bhajāmy aham
Mama vartmānuvartante manuṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ
Artinya :
Sejauh mana semua orang menyerahkan diri kepada-Ku, Aku menganugrahi mereka ssuai dengan penyerahan dirinya itu. Semua orang menempuh jalan-Ku dalam segala hal, wahai para putera pṛthā
(Tim Penyusun, 2006:230)

Bersembahyang merupakan suatu bentuk penyerahan diri kehadapan Tuhan. Penyerahan diri ini meliputi seluruh aspek tak terkecuali dalam hal berpakaian. Berpakaian dikaitkan dengan etika dan tata krama. Etika itulah yang kemudian dicarikan rujukan dalam ajaran agama yang disesuaikan dengan budaya masing-masing. Busana persembahyangan dianggap sebagai busana spesial.   Untuk itu agar tidak terus-menerus keliru, perlu adanya pemberitahuan kepada masyarakat secara umum tentang tatwa dalam berbusana adat Bali. Maka dari itu etika berbusana perlu ditingkatkan agar tidak semakin kebablasan dan agar Bali tetap mataksu. Dengan metode Etnometodologi yang mengacu pada kegiatan ilmiah yang menanalisis metode-metode atau prosedur-prosedur yang digunakan manusia untuk menuntun mereka dalam berbagai kehidupan kesehariannya, maka upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan etika berbusana remaja dalam persembahyangan di Desa Pakraman Wongaya Gede, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan adalah sebagai berikut :
4.4.1 Dari Pemerintah
Pemerintah dalam hal ini yaitu lembaga tertinggi Hindu yang dikenal dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). PHDI merupakan lembaga yang berperan penting sebagai penjaga tradisi keagamaan. PHDI sebenarnya sudah mengeluarkan aturan tentang busana adat Bali khusunya yang dibahas disini adalah busana persembahyangan, namu hal itu belum diketahui oleh seluruh masyarakat Hindu khususnya di Bali. Walaupun PHDI sudah berperan optimal, namun banyak kendala yang dihadapi antara lain bersumberkan pada pantulan diferensiasi sosial yang terdapat dalam masyarakat Bali (Atmadja, 2010:53).  Untuk itu PHDI diharapkan lebih gencar melaksanakan sosialisasi mengenai kebijakan berbusana dalam persembahyangan. Sebagaimana yang telah diputuskan dalam Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV. Namu banyak warga yang tidak mengindahkan dan bahkan tidak tau menau tentang aturan berbusana pada saat persembahyangan tersebut. Untuk itulah perlu adanya sosialisasi baik melalui media maupun terjun secara langsung kelapangan. Ada beberapa metode sebagai media untuk mensosialisasikan tata cara berbusana sembahyang yang benar menurut etika Hindu yaitu diantaranya: 1) Dharma Wacana, 2) Penertiban, 3) Lomba Busana Adat Bali

1.                  Dharma Wacanan
Dharma Wacana terdiri dari dua kata yaitu dharma dan wacana.  Dharma artinya : 1) kebenaran, 2) kepatutan, 3) hukum, dan 4) kewajiban. Wacana artinya ucapan; 1) perkataan; 2) tutur; atau 3) keseluruhan tutur yang merupakan satu kesatuan; atau 4) satuan bahasa terlengkap. Dharma Wacana adalah metode penerangan Agama Hindu yang disampaikan pada setiap kesempatan Umat Hindu yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Kegiatan penerangan semacam ini dimasa lalu disebut Upanisada. Dharma Wacana bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan untuk penghayatan dan pengamalan kedalam rohani umat serta mutu bhaktinya kepada Agama, masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka peningkatan dharma agama dan dharma negara. Dharma Wacana sangat baik apabila disampaikan melalui ungkapan bahasa yang mudah dimengerti, dihayati dan diresapkan oleh hadirin. mampu memukau dan dihindari penggunaan istilah-istilah asing, kecuali belum atau tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahasa yang dipergunkan dalam Dharma Wacana disamping bahasa Indonesia dapat juga dipakai bahasa daerah setempat.
Dharma Wacana dianggap sebagai metode yang ampuh untuk menyiarkan atau memberi informasi kepada masyarakat prihal etika busana dalam persembahyangan. Misalnya saja pada saat odalan di suatu pura. Pada sore harinya diadakan acara Dharma Wacana dan warga desa diharuskan untuk hadir tak terkecuali para remaja. Hal ini akan efektif untuk menyadarkan masyarakat khususnya para generasi muda agar kepura tujuannya adalah sembahyang menyerahkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan bukan sebagai ajang untuk memamerkan keindahan busana yang sedang ia kenakan.


2.                Penertiban
Penertiban berasal dari kata tertib yang berarti aturan, perturan yang baik. Penertiban berarti perbuatan, hal menertibkan, aturan dalm masyarakat, atau pergaulan (Tim Penyusun, 2007:872). Seperti misalnya pada saat mengendarai kendaraan bermotor. Sewaktu-waktu sering kali diadakan penertiban oleh polisi mengenai kelengkapan berkendara. Hal ini efektif mengurangi pelanggaran lalu lintas. Contoh lain, penertiban Pedagang Kaki Lima di Monumen Naional, Jakarta hal ini efektif juga untuk memperbaiki tatanan tempat wisata. Di Hindu juga diperlukan adanya hal semacam ini, dimana pada saat ada persembahyangan, ada beberapa petugas yang berjaga di depan pura, merazia umat yang berpakaian kurang beretika dan jika ditemukan, maka yang bersangkutan tidak diperkenankan memasuki areal pura dan disuruh pulang dan berganti pakaian. Hal ini efektif dilakukan untuk menimbulkan efek jera pada masyarakat khususnya pada remaja. Untuk apa kita ke pura dengan menggunakan pakaian yang serba fashionable kalau itu semua hanyalah bersifat duniawi. Pada cerita ketika Sita menawarkan kalung mutiaranya kepada Hanoman sebagai ungkapan terima kasihnya, Hanoman menggigit mutiara tersebut dan membuangnya ke laut karena tidak menggemakan nama Rama. Ketika ditanya oleh  Sita kenapa Ia bertingkah seperti itu, Hanoman menjawab, “Engkau masih melihat nilai dari permata itu, sedangkan Aku hanya mendengarkan suara suci dari nama tuan-Ku, semua perhiasan yang tidak menggemakan nama Tuhan sama saja bagaikan batu biasa bagiku. Setiap Rambut yang ada di tibuhku ditutupi oleh nama dari Rama. Sifat ketuhanan mengisi setiap sel dan rambut dari Bharatiyas. Sangat sia-sia kamu tiak berpegangan pada nilai-nilai suci ini.” (Singh, 2010:25).
Dalam agama Hindu manusia bisa hidup karena di dalam tubuhnya terdapat atman. Atman adalah percikan terkecil dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Kalau kita melihat pernyataan tadi, seharusnya manusia sadar bahwa tubuhnya adalah suci dan patut dijaga kesuciannya yang salah satunya bisa dengan cara menggunakan pakaian yang bersih dan sopan. Lebih lagi pada saat persembahyangan. Secara kasar kita bersembahyang adalah untuk menuju tuhan. Kita ke pura untuk bertemu dengan Tuhan. Apakah untuk bertemu Tuhan diperlukan penampilan yang fashionable? Penertiban akan membuat manusia untuk memperhatikan etika berbusana sebelum mereka berangkat ke pura.


4.4.2 Dari Umat Hindu Sendiri
Agama Hindu adalah agama yang fleksibel yang mudah menyesuaikan dengan dimana agama tersebut ada. Hal ini berarti dimanapun Agama Hindu itu berkembang, akan berbaur dengan budaya setempat baik dari segi mantra, sarana persembahyangan, busana adat dan lain-lain. Dalam melaksanakan persembahyangan ke Pura memerlukan persyaratan yang mendasar yaitu Asuci Laksana.  Dalam kitab Manawadharmasastra, V.109 menyebutkan yaitu:
“Adbhir gatrani suddhyanti
Manah satyena suddhyanti,
Vidyatapobhyam bhutama
Buddhir janena suddhyanti”



Terjemahannya :

            Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa brata kecerdasan dengan pengetahuan yang benar (Pudja dan Sudharta, 2004: 250)

Berdasarkan kutipan sloka diatas, yang disebut dengan Asuci Laksana tidak hanya menyangkut pembersihan badan, akan tetapi menyangkut juga tentang penyucian pikiran. Selain badan yang harus bersih, penampilan atau balutan busana yang dikenakan juga harus bersih pada saat melaksanakan persembahyangan ke Pura, sehingga keheningan suasana sembahyang dapat tetap terjaga. Menjaga penampilan cantik, rapi dan bersih pada saat melakukan persembahyangan bertujuan agar perasaan nyaman, sehingga persembahyangan pun bisa dilakukan dengan baik. Untuk bisa tampil cantik, tentu tidak harus menggunakan pakaian kebaya, make-up dan aksesori serba mahal. Semua harus disesuaikan dengan keperluan saja, jangan sampai berlebih yang bisa menimbulkan kesan pamer. Mulai dari pakaian atau kebaya, pilih yang tepat untuk acara persembahyangan, make-up dan rambut sewajarnya, demikian juga aksesori. Semua umat harus bisa menyesuaikan dandanan ke pura. Sudah seharusnya kita sebagai umat Hindu menyadari pentingnya beretika terutama dalam hal berbusana dalam persembahyangan.
1. Teladanisasi
Teladanisasi berasal dari kata teladan yang berarti menjadi yang patut dicontoh. Sudah seharusnya yang mengetahui menjadi teladan bagi yang tidak tahu.  Menjadi idola ataupun mengidolakan seseorang merupakan sesuatu yang wajar. Hal ini seolah telah menjadi hukuman bagi semua orang, baik itu idola artis, pahlawan kemerdekaan, tokoh masyarakat, pemuka agama, dewa-dewa, dan lain sebagainya. Orang yang diiolakan merasa dirinya sebagai panutan dan diikuti oleh pndukungnya, sedangkan orang yang mengidolakan meminta agar idolanya selalu tampil dan menjadi sempurna.
Busana adat Bali dalam proses sejarahnya sudah menunjukkan kekhasan fungsinya bagi umat Hindu suku Bali. Kekhasan fungsi itu, dalam hal fungsi religius dan fungsi adat, busana adat Bali sudah tercitra sebagai busana dalam rangka kegiatan beragama dan kegiatan adat Bali. Kalau memakai busana adat Bali sudah muncul pengaruh psikologis yang religius Hindu dan adat Bali. Kesan religius inilah yang umumnya dirasakan oleh suku Bali yang beragama Hindu kalau memakai busana adat Bali. Karena itulah, orang Bali yang beragama Hcindu pada umumnya tidak mau sembarangan berbusana adat. Apalagi memakai busana sembahyang ke pura. Citra positif yang dimunculkan oleh busana adat Bali ini seyogianya dapat dijaga. Agar kelestarian seni dan budaya Bali tetap terjaga sampai kapanpun. Yang diutamakan dalam berbusana sembahyang itu adalah sopan, wajar dan tidak berlebihan. Hal itu tentunya paradigma agama Hindu yang bernuansa filosofis. Meskipun demikian tentu sangat ideal bagi umat Hindu yang suku Bali memelihara tradisinya yang nyata-nyata sangat mulia, seperti busana adat Bali tersebut. Cuma dalam memelihara citra religius dan kekhasan adat Bali ini tidak boleh hanyut oleh emosi Bali tersebut. Hal itu justru dapat menimbulkan citra yang terlalu bias.
Seperti penggunaan busana adat Bali dewasa ini yang tampaknya perlu dijaga jangan sampai busana adat Bali tercitra tidak lagi religius dan tidak mencintrakan kekhasan adat Bali. Dalam era reformasi ini penggunaan busana adat Bali ini sudah semakin meluas. Busana adat digunakan saat demo, ada juga digunakan untuk kegiatan politik praktis. Satgas parpol menggunakan busana adat pecalang. Ada juga umat berbusana adat Bali melakukan kerusuhan massa, mabuk-mabukan dan sejenisnya. Perlu direnungkan dalam-dalam, apakah tidak sebaiknya busana adat Bali itu tetap kita jaga citranya sebagai busana untuk melakukan kegiatan keagamaan Hindu dan adat Bali.
Sebagai umat manusia kita memiliki banyak status. Ada saatnya kita berada dalam kegiatan adat, melakukan kegiatan keagamaan. Ada juga saat kita melakukan kegiatan yang bernuansa nasional bahkan internasional. Ini artinya, sebaiknya diberikan ciri khas masing-masing. Kapan kita tampil sebagai orang Bali, kapan sebagai orang Indonesia dan kapan tampil sebagai warga dunia. Yang juga sangat penting, kapan kita tampil sebagai umat Hindu suku Bali. Saat ada kegiatan adat Bali sudah seyogianya umat menampilkan ciri khas budaya Bali yang dapat dibedakan dengan ciri khas budaya suku lainnya. Salah satu ciri khas itu adalah busana adat Bali. Busana adat Bali ini oleh orang Bali juga dijadikan ciri khas melakukan kegiatan keagamaan Hindu.

2. Tingkatkan Sradha Bhakti Dengan  Kesadaran Dalam Berbusana
Modernisasi dan westernisasi yang menerpa masyarakat Bali tidak saja mengakibatkan perubahan kebudayaan fisik dan sistem sosial, tetapi juga pada sistem budaya, antara lain pada aspek spiritualitas (Atmadja, 2010:84). Bali dengan masyarakat dan budaya yang unik dipastikan bukanlah satu wilayah migrasi yang baru tumbuh. Keseharian masyarakat Bali dengan budaya yang senantiasa menampilkan warna budaya lokal menunjukkan bahwa perjalanan Bali telah melewati alur sejarah yang panjang. Berbagai temuan arkeologi di berbagai wilayah Bali membuktikan perjalanan panjang Pulau Bali berbarengan dengan wilayah dan negara lain. Wilayah lain mengenal umat Hindu di Bali dengan sikap religius yang sangat kental. Sebagaimana yang masyarakat luar ketahui, kenapa umat Hindu di Bali terutama para generasi muda supaya lebih meningkatkan Sradha Bhakti ke hadapan Tuhan.
            Bhakti (pengabdian) merupakan sebuah esensi untuk dapat merasakan kebahagiaan dari Atma. Pengabdian ada banyak caranya. Salah satu cara yang termudah adalah dengan cara memuja Beliau. Tujuan dari pergi ke tempat suci adalah untuk bersembahyang, menyerahkan diri ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa.  Dalm Kitab Veda disebutkan:
Dayanidhe Bhavatkripayanena janopasanadikarmana
Dharmaarthaamamokshanam Sadyah Siddirbhavennah

Terjemahannya :
O’ Tuhan, samudra belas kasih, semoga kami segera mencapai Dharma, Kaama dan Moksa melalui Japa (pengulangan mantra dalam hati) dan Upaasana (pemujaan) dan lain-lain dengan anugerah-Mu (Mittal, 2010:247).


             Tumbuhkan cinta untuk Tuhan dengan cara memiliki keyakinan kepada Tuhan. Tidak ada satupun yang Tuhan tidak dapat lakukan. Keyakinan didasarkan pada pernyataan Sarvam Khalvidam Brahman (semua ini sesungguhnya adalah Brahman), Sarvam Vishnumayam Jagat (Tuhan menyebar di seluruh dunia) dan Isavasyamidam Sarvam (Tuhan senantiasa ada di semua makhluk), yang telah mengemukakan kebenaran abadi (Singh, 2010:139). Orang yang selalu sadar akan keberadaan dirinya, yang mengerti dan mampu mengamati proses kerja pikirannya, yang selalu berada diatas gerak pikirannya adalah orang yang tercerahi, orang yang tidak lagi terpengaruh atas kesenangan dan penderitaan yang dialaminya (Suwantana, 2011:27). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar